JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Serikat Pekerja (SP) JICT menanggapi pernyataan Wakil Direktur Utama Jakarta International Container Terminal (JICT) sekaligus perwakilan dari Hutchison Indonesia, Riza Erivan yang dikutip di beberapa media online terkait aksi SP JICT di Kementrian BUMN hari ini.
Pertama, kritik perpanjangan kontrak JICT-Koja murni didasari kepada temuan BPK terkait kerugian negara Rp6 trilyun dan pelanggaran Undang-Undang meliputi; UU 17/2008 tentang Pelayaran terkait tidak adanya izin konsesi, PerMen BUMN Per-01/MBU/2011 tentang penerapan GCG, PerMen BUMN No PER-06/MBU/2011 tentang Pendayagunaan Aktiva Tetap karena Hutchison ditunjuk langsung tanpa syarat sah dan Permen BUMN Per-15/MBU/2012 tentang Pengadaan yang Kompetitif, Adil dan Wajar.
Kedua, tak ada hubungan antara nama baik negara Hong Kong atau program investasi pemerintah dengan pelanggaran Undang-Undang dan kerugian negara oleh Hutchison dalam kasus kontrak JICT-Koja. “Kecuali memang Hutchison ingin bermanuver secara hukum dan mencari pembenaran. Lagipula dengan tegaknya aturan, malah akan memberi kepastian hukum kepada investor dan menghapus area abu-abu yang sering digunakan pemburu rente atas nama investasi,” nilai Sekretaris Jenderal Serikat Pekerja JICT M Firmansyah dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senen (17/12).
Hutchison dinilainya seolah ingin mengaburkan fakta substansi pelanggaran aturan dan kerugian negara kasus kontrak JICT-Koja dengan isu non substansi, yakni pekerja JICT memiliki gaji terbesar se-Indonesia sehingga tak dibenarkan melakukan aksi protes pengembalian aset nasional pelabuhan. Lagipula urusan gaji pekerja JICT adalah soal hubungan industrial yang berkeadilan antara perusahaan dan pekerja.
Hal ini, menurutnya sudah diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) JICT. “Jika Riza atau siapapun mempermasalahkan hal non-substantif ini, patut dicurigai jangan-jangan mereka adalah antek-antek Hutchison atau pemburu rente yang tidak ingin kepentingannya diganggu,” sebutnya.
Selain itu manajemen secara sistematis telah melakukan kriminalisasi terhadap lebih dari 10 aktivis SP JICT yang mengkritisi perpanjangan kontrak ilegal JICT-Koja dan melakukan PHK massal 400 pekerja terampil yang berserikat untuk digantikan ratusan pekerja baru yang nihil pengalaman.
Jika dikatakan kontrak baru JICT-Koja menguntungkan semua pihak tentu ini omong kosong besar. Dengan keuntungan JICT-Koja pertahun rata-rata Rp3-4 trilyun, Hutchison hanya membayar uang muka sekitar Rp 2 trilyun dan uang sewa per tahun sebesar Rp 1,2 trilyun dibayar oleh JICT dan Koja kepada negara bukan oleh Hutchison. “Alangkah untungnya jika kedua pelabuhan ini bisa dikelola negara tanpa harus diperpanjang kepada Hutchison,” nilainya lagi.
Efisiensi besar-besaran akibat beban sewa tersebut terpaksa dilakukan manajemen. Mulai dari pengurangan frekuensi perawatan alat sampai pengurangan hak kesehatan pekerja. Sehingga tak heran tingkat kecelakaan kerja JICT mencapai rata-rata ratusan kejadian per tahun di tahun 2018 dan mengakibatkan 5 pekerja meninggal.
Bahkan tingkat kematian pekerja karena isu kesehatan dalam 1 bulan terakhir mencapai 3 orang. Satu diantaranya meninggal karena serangan jantung akibat dugaan pemaksaan dari manajemen agar pekerja tersebut pensiun dini.
“Konyolnya, dengan segala kontroversi manajemen, Hutchison terus memaksakan perpanjangan kontrak di JICT dan Koja tanpa alas hukum,” tandasnya. (grd)