JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Pemerintah diminta fokus pada peningkatan lapangan kerja. Hal ini karena selama tiga tahun masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kala dinilai belum maksimal menciptakan dipeningkatan lapangan kerja. “Tolong pemerintahan Jokowi-JK di sisa masa pemerintahannya lebih fokus pada peningkatan lapangan kerja,” saran Ekonom senior dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Drajad Wibowo dalam diskusi kajian di Kantor Indef, Jalan Pejaten Timur, Jakarta, Selasa (20/2).
Selain Drajad Wibowo, diskusi juga menghadirkan pembicara anggota Komisi XI DPR RI Misbakhun, serta tiga peneliti dari Indef. Drajad mebgatakan kinerja pemerintah dalam penciptaan lapangan kerja menjadi fokus perhatian Indef, sebab menurut Drajad penciptaan lapangan kerja menjadi paling krusial mengatasi ketimpangan dan kesejahteraan sosial di masyarakat.
“Kunci kenaikan dan kesejahteraan sosial adalah pekerjaan. Kalau selama ini pemerintah gencar menebar Kantor Indonesia Pintar dan sebagainya dalam rangka insentif memberdayakan dan mensejahterakan itu bukan solusibyabg tepat Bukan dengan cara itu,” ujarnya.
Menurutnya ada sejumlah indikator yang bisa digunakan untuk mengetahui pertumbuhan penyerapan lapangan kerja. “Kesimpulannya memang kinerja penciptaan kerja di era Jokowi-JK masih belum maksimal, masih lebih rendah dari era sebelumnya (SBY-Boediono),” kata mantan anggota DPR RI ini. Indef menggunakan dua indikator dalam mengukur penciptaan lapangan kerja ini. Indikator pertama adalah jumlah penambahan penduduk pekerja setiap tahun.
Tiga tahun pertama era Jokowi-JK, penambahan penduduk pekerja rata-rata menyentuh angka 2,1 juta. Angka ini lebih rendah ketimbang tiga tahun pertama pemerintahan SBY-Boediono yang berada di angka 2,87 juta. “Tapi, lebih bagus dibandingkan era SBY-JK di tiga tahun pertama, itu sekitar 1,68 juta,” imbuh Drajad.
Indikator kedua merupakan rasio penciptaan kerja yang didapat dari tambahan penduduk bekerja per satu persen pertumbuhan ekonomi. Era SBY-Boediono rasio penciptaan kerja di tiga tahun pertama berada di angka 467.082. “Di era Jokowi-JK per satu persen pertumbuhan kurang produktif, lebih rendah hanya 426.297,” jelas mantan anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN).
Drajad menyarankan pemerintahan Jokowi-JK lebih fokus terhadap penciptaan lapangan kerja. Ia juga mengingatkan Jokowi-JK hati-hati dalam membuat kebijakan terkait lapangan kerja. “Jangan membuat aturan yang merusak sektor-sektor yang banyak melakukan penyerapan tenaga kerja,” tegas Drajad.
Anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun mengatakan, program Dana Desa yang diluncurkan oleh Pemerintah Jokowi-JK adalah upaya mendorong menciptakan lapangan pekerjaan. “Dana desa sekali mendayung bisa menciptakan lapangan kerja bagi warga desa dan pada saat bersamaan proyek kebutuhan dasar warga desa melalui pembangunan infrastruktur bisa berjalan seiring mengejar ketertinggalan. Terutama di desa-desa di kawasan pinggiran Indonesia,” ujarnya.
Dengan mendorong alokasi dana desa ke program padat karya menjadi salah satu jalan sekaligus tantangan dalam upaya pemberdayaan masyarakat secara umum. Sekaligus, lanjut dia pada saat yang sama menemukan strategi percepatan dana desa dan menghapus kemiskinan serta ketimpangan desa.
“Pencairan dana desa dengan skema cash for work digadang-gadang akan menyerap 5,8 sampai 11,8 juta pekerja baru. Jumlah orang miskin bakal turun 355 ribu jiwa,” imbuhnya.
Menurutnya, dalam tiga tahun sejak 2015 dana desa terus menanjak secara signifikan. “Dari Rp 20,67 triliun atau sekitar Rp 280,3 juta perdesa pada 2015 hingga menjadi Rp 60 triliun atau sekitar Rp 800,4 juta perdesa pada 2017. Dengan demikian bisa dikatakan secara teknis janji transfer dana desa mencapai Rp 1 milliar per desa telah diwujudkan,” kata politisi dari Partai Golkar ini.
Dari data tersebut, dapat dikatakan bahwa kontribusi dana desa dalam penyerapan tenaga kerja pada tahun 2017 telah mengalami peningkatkan sampai tiga kali lipat dari angka penyerapan tenaga kerja. “Serapan tenaga kerja program dana desa 2015 mencapai 1.700.000 sedangkan di 2016 3.900.000 dan di 2017 mencapai 5.000.000 jiwa,” kata Misbakhun. (har)