Presiden Diminta Tolak Pati Polri Jadi Pejabat Gubernur

JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Policy Centre Ikatan Alumni Universitas Indonesia (Polcen ILUNI UI) berpendapat, keputusan pemerintah khususnya Kementrian Dalam Negeri yang akan mengangkat Perwira Tinggi Polisi aktif untuk menjadi pejabat gubernur di Jawa Barat dan Sumatera Utara, tidak tepat. Hal tersebut bertentangan dengan pasal 201 ayat 10 UU Pilkada serta Pasal 28 UU Kepolisian Negara dan Pasal 20 UU Apartur Sipil Negara (ASN).

Seharusnya, Pasal 201 ayat 1 UU Pilkada yang dirujuk Kemendagri dengan mengeluarkan Permendagri No 1 tahun 2018 harus merujuk pada Pasal 20 UU ASN yang menyebutkan secara tegas bahwa pengisian jabatan itu hanya dapat diperuntukan untuk tingkat pusat dan bukan daerah.

Oleh karena itu, ILUNI UI meminta Presiden Jokowi untuk menolak usulan Mendagri yang menempatkan pejabat Polri aktif sebagai penjabat sementara gubernur atau jabatan sipil lainnya sekaligus juga meminta presiden untuk tetap menjaga semangat reformasi sebagaimana terdapat dalam amanat reformasi 1998 yaitu menolak Dwifungsi ABRI termasuk dwifungsi Polri.

Dalam Diskusi Bulanan Polcen ILUNI UI yang mengambil tema “Dwifungsi Polri Menjelang Pilkada Serentak” yang diadakan Pengurus ILUNI, dibuka Ketua Umum ILUNI UI Arief Budhy Hardono menghadirkan Ketua Pusat Studi Hukum Tata Negara (PSHTN) Mustafa Fahri, anggota Komisi III DPR RI Muhammad Syafii, Pengurus Perludem Titi Anggraini, aktifis reformasi 1998 Ramdansyah Dosen FISIP Universitas Sam Ratulangi Dr Ferry Liando serta Ketua ILUNI UI Eman Sulaeman Nasim dan Tommy Suryatama.

Menurut Fahri, secara teoritis Polri adalah lembaga superbody karena tidak saja dalam lingkungan eksekutif dalam rangka keamanan dalam negeri akan tetapi juga sebagai bagian dalam yudikatif yakni penegakan hukum, dimana Polri dapat menetapkan seseorang sebagai tersangka. Untuk itu akan sangat berbahaya jika jabatan sipil juga dipegang oleh pejabat Polri yang masih aktif.

Dosen FHUI yang juga pengurus ILUNI UI ini menambahkan, amanat ketetapan (Tap) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) No VIII tahun 2000 terlait pemisahan TNI – Polri dalam ayat 3 disebutkan, jabatan sipil jika akan ditempati pejabat TNI Polri, maka terlebih dahulu harus berhenti atau mundur. Jika di berbagai negara bahkan tidak dapat langsung menempati jabatan sipil akan tetapi ada jeda waktu selama 2 tahun, agar jabatannya tidak digunakan untuk mempengaruhi bekas bawahannya.

Di tempat yang sama, anggota DPR RI Komisi III Muhammad Syafii menyebutkan, UU kepolisian negara secara tegas menyebutkan bahwa kepolisian negara tidak boleh melibatkan diri dalam politik praktis. Dalam hal pejabat kepolisian mengisi jabatan di luar dinas kepolisian maka harus terlebih dahulu mundur atau berhenti dari kedinasan kepolisian. “Hal ini semakin menunjukkan bahwa policy yang akan diambil oleh Kementerian Dalam Negeri adalah suatu kebijakan yang tidak lagi berorintasi pada state oriented akan tetapi government oriented. Menarik polisi negara untuk masuk dalam tindakan government oriented adalah hal yang membahayakan bagi Polri dimana akan menimbulkan distrust akan peran Polri yang netral dalam Pilkada,” papar anggota DPR RI yang biasa dipanggil Romo Syafii ini.

Pendapat senada disampaikan dosen ilmu poltik Universitas Sam Ratulangi, Ferry Liando. Menurut Fery Perwira aktif Polri bila ditunjuk menjadi penjabat gubernur atau kepala daerah di wilayah yang salah satu calon kepala daerahnya berasal dari korps kepolisian, sulit untuk menjamin, bahwa penjabat Gubernur asal Perwira tinggi Polri tersebut akan bersikap netral. Padahal untuk bisa menghasilkan kepala daerah yang berkualitas dan amanah, jujur dan adil serta tidak menimbulkan distrus diperlukan Pilkada yang netral jujur dan adil. Para aparatur sipil negara di daerah harus jujur, adil dan netral. “Namun demikian, Pejabat Sipil yang menjadi pejabat gubernur juga tidak bisa kita jamin, dia akan netral,” ujar Ferry Liando.

Peneliti dari Perludem Titi Anggraini sendiri sangat menyesalkan sikap Presiden Jokowi yang menganggap enteng apa yang diputuskan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Padahal, Pilkada serentak tahun 2018 ini adalah bentuk pemanasan sekaligus batu ujian bagi mesin Parpol untuk bergerak sebelum Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dan Pemilihan umum Presiden (Pilpres) tahun 2019. “Tahun 2024 akan ada Pilkada Serentak secara nasional. Maka perihal penjabat gubernur dan bupati akan terjadi pada tahun 2022 dan 2023. Jangan sampai hal ini menjadi pintu masuk permisifitas kita sehingga memuluskan jalan bagi kembalinya Dwifungsi yang sama sama telah kita sepakati semenjak reformasi terkaitu dwifungsi ABRI. Dimana polisi juga berada di dalamnya. Bisa dibayangkan pada 2022 dan 2023 akan dibutuhkan 272 pejabat sementara dari pimpinan madia dan pratama untuk mengisi kekosongan jabatan di daerah. Semestinya mulai saat ini Kemendagri sudah menysusun roadmap terkait permasalahan 272 penjabat sementara tersebut,” papar alumni FHUI ini.

Aktifis Reformasi 1998 Ramdansyah juga mengingatkan agar masyarakat untuk mensikapi secara serius kembalinya dwifungsi ABRI, sekali meminta masyarakat dan pemerintah konsisten memperjuangkan dan mengimplementasikan agenda reformasi. Jika penunjukkan perwira tinggi Polri sebagai penjabat gubernur dilanjutkan, dan disetujui presidenm maka itu merupakan suatu bentuk pembangkangan atas amanat reformasi. (son)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button