SURABAYA (bisnisjakarta.co.id) – Dalam Sidang lanjutan kasus penyalahgunaan bahan bakar minyak (BBM) di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Jumat (10/2/2023), saksi Edy Setiawan yang juga karyawan PT Meratus Line membongkar praktik penjualan BBM Pocket yang selama ini terjadi. BBM Pocket adalah BBM sisa kapal yang oleh para anak buah kapal (yang sering berperan di sini adalah KKM dan Masinis I) dianggap sebagai miliknya yang kemudian dijual kembali untuk kepentingan pribadi.
Menurut Edi, sering kali BBM Pocket ini juga tidak terjual karena harga yang tidak cocok. Sementara pihak kapal dalam hal ini KKM dan Masinis I taunya barang tersebut harus jadi uang berapapun itu. Jika tidak maka yang terjadi mereka akan membuang BBM Pocket tersebut ke laut, karena tidak mau ambil risiko menyimpannya di kapal.
Menanggapi hal ini, pegiat lingkungan Surabaya, Teguh Ardi Srianto menyatakan, itu sudah jelas melanggar peraturan yang berlaku.
“Sepengatahuan saya dari dulu sampai sekarang dumping atau pembuangan bahan kimia atau bahan-bahan beracun berbahaya termasuk BBM ke laut ada aturannya dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan aturan itu sudah sangat jelas,” ungkapnya.
Jika pembuangan BBM ke laut mencemari dan merusak biota, maka semua yang terlibat harus bertanggung jawab. siapa pun pelakunya. Baik itu kapten kapal dari pihak Meratus yang membuang solar itu ke laut, termasuk pimpinan atau direksi PT Meratus juga Pemilik Perusahaan karena kapal atau armada yng digunakan itu milik Meratus. Selain itu para pelaku yang juga merupakan karyawan Meratus maka otomatis tanggung jawab sepenuhnya dan karena itu ada di direksi jadi direksi Meratus harus bertanggung jawab atas kinerja dari anak buahnya kenapa kok sampai terjadi seperti itu.
“Heran kenapa Meratus tidak melapor ke polisi kalau kehilangan minyak. ini saya kurang paham kenapa. Ini perlu diselidiki ada apa kok Meratus yang sebenarnya merugi kok justru tidak melapor ke polisi selama 7 tahun terakhir,” katanya merasa heran.
Menurut Informasi, kasus itu sudah ada sejak 2015 hingga 2022 jadi cukup lama. Kalau memang solar itu dibuang atau pencemaran itu dilakukan setiap hari maka sudah berapa banyak yang sudah dibuang ke laut. Ini yang perlu ditanyakan dan perlu dimintai pertanggungjawaban karena sudah melanggar undang-undang,
“Kalau memang kasus ini nanti akan diusut secara mendalam insya Allah saya bersama teman-teman akan melakukan pengawalan hingga ke pelaku utama dan penanggung jawab utama kegiatan pembuangan solar,” tegasnya.
Kalau tidak ada izin dari pejabat berwenang mulai dari Kementrian hingga Gubernur, Bupati Walikota dan melebihi ambang batas, maka segala bentuk pembuangan itu dianggap melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Khusus pembuangan ke laut juga melanggar UU tentang Kelautan. Apalagi pencemaran di perairan atau di lautan akan sulit dilokalisir ketimbang di daratan. Terkait pencemaran terhadap laut maka apa yang dilakukan kapal-kapal milik Meratus itu sudah pasti. Tapi untuk merusak biota laut musti dilihat dulu apakah solar yang dibuang itu melebihi ambang batas atau tidak, itu perlu penelitian yang lebih dalam lagi untuk memastikan.
“Hanya saja untuk lebih mendalam dan lebih pasti lagi memang perlu ada penelitian karena kita tidak bisa bilang melanggar kalau tidak ada bukti hukum yang valid bahwa solar itu mencemari laut atau tidak,” tambahnya.
Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center (IKAL SC) Capt Marcellus Hakeng Jayawibawa menyatakan, tidak benar BBM sisa di atas kapal milik KKM dan Kapten Kapal karena itu milik dan tanggung jawab perusahaan pemilik Kapal atau operator kapal.
BBM sisa kapal juga tidak boleh dibuang di laut karena dilarang oleh hukum internasional dan oleh banyak negara. Di mana diatur dalam Konvensi Marpol (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships) yang berisikan perjanjian internasional yang mengatur masalah pencemaran lingkungan oleh kapal dan melarang dengan tegas pembuangan bahan bakar minyak di laut.
“Penentuan pelanggaran terhadap peraturan ini dapat membawa sanksi hukum dan administratif, termasuk denda dan tuntutan ganti rugi. Sangat penting bagi pemilik kapal dan awak kapal untuk memastikan bahwa mereka memenuhi semua peraturan dan standar yang berlaku dalam hal penanganan dan pembuangan bahan bakar minyak sisa, untuk melindungi lingkungan maritim dan mencegah pencemaran,” paparnya.
Di Indonesia, pembuangan bahan bakar minyak ke laut dilarang oleh berbagai undang-undang dan peraturan, antara lain, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 87 ayat (1) dan (2). Pasal tersebut menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang dilarang membuang, mengeluarkan, atau menyebarkan bahan atau zat yang dapat merusak lingkungan hidup ke dalam air, tanah, atau udara.
(2) Setiap orang yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda paling rendah Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling tinggi Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau sanksi pidana paling rendah 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
Selain itu juga melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 105 ayat (1) dan (2). Pasal tersebut menyatakan bahwa:
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan pelayaran dilarang membuang bahan-bahan yang merusak lingkungan laut ke laut, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa denda paling rendah Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling tinggi Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan sanksi pidana paling rendah 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Bakar Minyak Kapal, Pasal 4 ayat (1) dan (2). Pasal tersebut menyatakan bahwa:
(1) Setiap kapal wajib membuang limbah bahan bakar minyak-nya pada tempat yang sesuai dan aman, dan tidak boleh membuang limbah bahan bakar minyak ke laut atau melalui perairan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Bahan Bakar Minyak Kapal dan Limbah Bahan Bakar Minyak Kapal, Pasal 6 ayat (1) dan (2). Pasal tersebut menyatakan bahwa:
(1) Kapal dilarang membuang limbah bahan bakar minyak ke laut atau melalui perairan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. *rah
Menurutnya, karena BBM sisa adalah milik perusahaan maka jika sampai BBM sisa ada yang dibuang ke laut maka tentunya itu menjadi tanggung jawab perusahaan dan atau pemilik kapal. Jika perusahaan tidak mempersoalkan baik penjualan atau pembuangan bbm sisa tersebut kelaut , maka bisa dianggap bbm sisa itu bukan milik perusahaan.
“BBM sisa kapal juga tidak boleh dibuang di laut karena dilarang oleh hukum internasional dan oleh Peraturan Per-Undang Undangan banyak negara. Dimana diatur dalam Konvensi Marpol (International Convention for the Prevention of Pollution from Ships) yang berisikan perjanjian internasional yang mengatur masalah pencemaran lingkungan oleh kapal dan melarang dengan tegas pembuangan bahan bakar minyak di laut,” tegasnya.
Di Indonesia, pembuangan bahan bakar minyak ke laut dilarang oleh berbagai undang-undang dan peraturan, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 87 ayat (1) dan (2).
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Pasal 105 ayat (1) dan (2).
3. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Bakar Minyak Kapal, Pasal 4 ayat (1) dan (2).
4. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pengelolaan Bahan Bakar Minyak Kapal dan Limbah Bahan Bakar Minyak Kapal, Pasal 6 ayat (1) dan (2). *rah