
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menilai penerapan hukuman mati bagi koruptor yang kembali mengundang perdebatan hanyalah sebatas wacana. Menurut Saut, saat ini di tataran internasional penerapan hukuman sudaj tidak menarik lagi, sementara di Indonesia Undang-Undang membatasi hukum maksimal bagi pelkau pidana korupsi hanya sampai hukuman seumur hidup. "Saya mengatakan kalau kita hanya bicara bagaimana kita menghukum, terus menghukum maksimal, kita masih terjebak retorika. Hal-hal yang sifatnya menarik perhatian, gimmick," kata Saut Situmorang di Jakarta, Minggu (15/12).
Saut menjelaskan di banyak negara penerapan hukuman mati bagi pelaku pidana korupsi sudah tidak dibahas lagi. Bahkan di negara yabg memiliki indeks persepsi pemberantasan korupsi rangking tertinggi tidak pernah lagi membahas penerapan hukuman mati dalam UU di negaranya. "Kalau bicara hukuman maksimal, negara lain yang lebih substain indeks persepsi korupsinya, dia tidak bahas hukuman mati lagi. Tapi bicara soal sederhana, misalnya supir truk nyogok supir forklift di pelabuhan itu bisa kena," ucap Saut.
Sedangkan di Indonesia, Saut mengungkapkan dalam menjerat pelaku korupsi, KPK berpedoman pada ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor. "Jadi kalau mau menjawab pertanyaan itu, kita harus menjawab seperti apa kita menyelesaikan secara komprehensif, jangan terlalu terjebak di retorika saja. Karena ini kan sudah ada dan diatur," ujar Saut.
Pasal 2 ayat 1 itu berbunyi, "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonornian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar."
Di tempat sama, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menegaskan menolak penerapan hukuman mati bagi pelaku pidana korupsi. Menurutnya hukuman mati bagi para koruptor tidak manusiawi. "Tidak ada yang manusiawi dari hukuman mati, entah itu suntik, tembak, maupun penggal. Kita potong ayam saja itu masih lari apalagi manusia," kata Usman.
Usman mengamini pernyataan Saut bahwa hukuman mati sulit untuk diterapkan karena sejumlah negara sudah tak lagi menerapkannya. Pasalnya, praktik tersebut telah melanggar hukum internasional. "Negara lain sudah sulit menjatuhkan hukuman mati tanpa melanggar HAM internasional," imbuh Usman.
Ia bahkan menilai penerapan hukuman hukuman mati bagi koruptor bukan hanya tisak manusiawi tetapi juga merendahkan harkat dan martabat manusia. "Penolakan hukuman mati bukan untuk menolak hukum koruptor, penolakan itu untuk menolak merendahkan manusia," tegasnya.
Usman berpendapat hukuman bagi koruptor saat ini sudah tepat dengan hukuman penjara maksimal seumur hidup. Penerapan penjara maksimal seumur hidup pernah dijatuhkan Pengadilan Tipikor terhadap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mocht "Namun koruptor tetap harus dihukum, ini kan sudah ada minimum empat tahun, sedang 20 tahun dan sampai seumur hidup," kata Usman.
Untuk diketahui wacana penerapan hukuman mati bagi pelaku pidana korupsi menuai persebatan setelah Presiden Joko Widodo mengaku belum ada penerapan hukuman mati untuk para koruptor yang diatur dalam UU Tipikor. Namun, Jokowi menyebut, hukuman mati bisa saja diberlakukan kepada koruptor yang merugikan bangsa dan negara karena mengkorup anggaran bencana alam. "Sampai sekarang belum ada, tapi di luar bencana belum ada, yang sudah ada saja belum pernah diputuskan hukuman mati. UU ada belum tentu diberi ancaman hukuman mati, di luar itu UU-nya belum ada," ujar Jokowi saat Peringatan Hari Korupsi Seduniai di SMK Negeri 57 Jakarta, Taman Margasatwa, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Senin (9/12) lalu. (har)