
JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Kehadiran Pasal 28 H dan Pasal 34 A hasil amandemen UUD 1945 kedua dan keempat menempatkan jaminan sosial sebagai hak konstitusional bagi seluruh rakyat Indonesia. Dengan terbitnya UU No. 40 Tahun 2004 tentang SJSN dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS, jaminan sosial membuka akses pembiayaan kesehatan lebih luas kepada seluruh rakyat Indonesia. Dengan prinsip gotong royong, seluruh rakyat membiayai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan seluruh pekerja membiayai empat program jaminan sosial ketenagakerjaan yaitu Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Kecelakan Kerja (JKK), Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP).
Kehadiran jaminan sosial tentunya mendukung Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia, dengan indikator kesehatan, pendidikan dan pendapatan. IPM kita terus menunjukkan peningkatan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat IPM tahun 2017 sebesar 70,81. Angka ini membaik 0,9 persen dibandingkan posisi tahun sebelumnya yang sebesar 70,18 persen.
Kehadiran jaminan sosial sudah memberikan manfaat nyata bagi rakyat Indonesia. Tercatat per 31 Oktober 2018 lalu, jumlah peserta JKN 205.071.003 dengan peserta aktif 186.107.450 dan non aktif 18.963.553. Ada 124.675.822 kunjungan ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP), kasus katastropik yang sudah ditangani sebanyak 14.129.853 kasus dengan biaya Rp. 14,23 Triliun, dsb.
Sementara itu untuk jaminan sosial ketenagakerjaan, untuk Program JKM ada 21.287 kasus yang sudah ditangani dengan nilai pembayaran klaim ke pekerja sebesar Rp. 583,77 miliar, Program JHT sebanyak 1.595.900 kasus dengan nilai Rp. 18,31 Triliun, Program JKK sebanyak 141.046 kasus dengan nilai Rp. 971,18 miliar, dan Program JP sebanyak 44.111 kasus dengan nilai Rp. 137,31 miliar.
“Tentunya proses berjalannya kelima program jaminan sosial selama ini tidaklah mulus, ada banyak persoalan yang terus menyertainya sehingga masih terdengar keluhan-keluhan, terutama untuk pelaksanaan program JKN. Konfederasi Rakyat Pekerja Indonesia (KRPI) terus mengawal dan memberikan masukan konstruktif untuk terus memperbaiki kelima program jaminan sosial ini,” nilai Timboel Siregar, Sekretaris Jendral Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI).
Di tahun kelima saat ini, pelaksanaan program JKN terus diwarnai persoalan klasik yang terus terjadi sejak beroperasinya program ini di 1 Januari 2014. Beberapa keluhan rakyat yang tercatat dalam buku advokasi KRPI seperti masih banyak penolakan pasien JKN oleh RS dengan berbagai alasan seperti ketiadaan kamar ICU-NICU-PICU. Selain itu masih ada pasien JKN dipaksa pulang dalam kondisi tidak layak pulang. Tentunya hal ini bisa mengancam keselamatan pasien.
Pasien JKN juga masih diminta bayaran untuk obat, administrasi dan darah, padahal seluruh hal tersebuit ditanggung seperti yang diamanatkan Pasal 22 ayat (1) UU SJSN. Ada peserta JKN yang harus menanti berbulan-bulan untuk diambil tindakan sementara pasien terus mengalami penurunan kesehatan.
“Kehadiran uji coba sistem Rujukan On Line pun turut banyak diprotes oleh peserta dan kalangan dokter karena dengan sistem rujukan ini peserta JKN diposisikan secara umum harus melalui RS tipe D dan C terlebih dahulu. Peserta yang selama ini sudah rawat jalan ke RS tipe B harus dipindahkan ke RS tipe C atau D, dan kesulitan pendaftaran dan pembayaran iuran karena tidak didukung oleh sistem IT yang mumpuni,” terang Timboel Siregar.
Permasalahn tersebut, menurutnya tak lepas dari beberapa permasalahan sistemik yang belum ada solusinya seperti kurangnya sosialisasi seluruh regulasi JKN sehingga ada rakyat yang mengalami masalah ketika berobat di FKTP maupun RS. Faktanya, regulasi soal JKN kerap kali berubah-ubah sehingga membuat kebingungan bagi masyarakat. Pasal 15 dan 16 UU SJSN yang mewajibkan BPJS Kesehatan memberikan informasi soal manfaat JKN kepada peserta kerap kali alfa dilaksanakan.
Persoalan defisit yang tiap tahun mendera program JKN yakni ancaman Defisit sebesar Rp16,5 triliun di tahun ini pun berpotensi terus mendukung peningkatan defisit JKN di tahun 2019 nanti. Belum hadirnya beberapa regulasi operasional seperti Peraturan BPJS Kesehatan yang diamanatkan Pasal 16 ayat (3) Perpres no. 82 tahun 2018 tentang penjaminan bayi baru lahir selama 28 hari sejak lahir.
Belum dilaksanakannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 70/PUU-IX/2011 oleh BPJS Kesehatan.
Putusan tersebut memberikan peluang bagi pekerja penerima upah untuk mendaftarkan sendiri ke Program JKN bila pengusaha tidak juga mendaftarkannya ke BPJS Kesehatan
Rendahnya pengawasan dan penegakkan hukum juga berpengaruh terhadap jumlah kepesertaan di JKN dan penerimaan iuran serta pengendalian INA CBGs. Percetakan dan pendistribusian Kartu KIS kepada rakyat miskin peserta PBI hingga saat belum juga selesai. Hal ini berakibat kurangnya pengetahuan rakyat miskin bahwa mereka adalah peserta PBI yang iurannya dibayarkan oleh Pemerintah Pusat.
Sejumlah rekomendasi ditawarkan KRPi untuk mengatasi permasalahan tersebut, di antaranya, pemerintah Pusat dan Daerah terus meningkatkan kualitas dan kuantitas infrastruktur kesehatan minimal 30 persen per tahun dari yang ada saat ini seperti fasilitas kesehatan (RS, puskesmas, ketersediaan obat dan alat kesehatan), pemerataan tenaga medis di seluruh Indonesia, mengembangkan sistem IT yang terintegrasi dari RS ke RS, dsb sehingga rakyat tidak lagi mengalami masalah untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Pasal 34 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.
“Dengan kewajiban mengalokasikan 5 persen APBN dan 10 persen APBD, KRPI menilai pemerintah memiliki kemampuan untuk melaksanakan amanat Pasal 34 ayat (3) UUD 1945,” tanbahnya.
Atas masalah defisit JKN yang terus terjadi KRPI merekomendasikan agar Pemerintah mengambil kebijakan menaikkan iuran JKN. Untuk iuran peserta PBI dan Jamkesda, tentunya kenaikan iurannya bisa dilaksanakan setelah Pilpres dengan menggunakan instrumen APBN Perubahan 2019. Adapun kenaiakan iurang yang kami usulkan adalah sebesar Rp. 7.000 sehingga iuran PBI dan Jamkesda sebesar Rp. 30.000 per orang per bulan. Selain itu pengawasan Pemerintah Pusat dan Daerah juga ditingkatkan untuk menjamin hak kesehatan riil diperoleh rakyat.
Direksi BPJS Kesehatan segera menghadirkan Desk Pengaduan di RS RS yang menjadi mitra dengan hadir 7 x 24 jam sehingga peserta JKN memiliki akses langsung dan mudah atas persoalan yang dialaminya di RS. Tentunya desk pengaduan ini harus diintegrasikan dengan IT yang mumpuni sehingga desk pengaduan BPJS Kesehatan antar RS tersambungkan. Desk pengaduan ini merupkan amanat Pasal 89 Perpres No. 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Mengingat JKN mengedepankan kegotongroyongan dan kepesertaan wajib maka KRPI mendorong seluruh kementerian/lembaga yang melakukan pelayanan publik ikut mendukung JKN dengan mengintegrasikan sistem layanan publiknya dengan JKN. Perpres No. 86 Tahun 2013 mengamanatkan sanksi tidak mendapatkan layanan publik bagi rakyat yang belum ikut JKN dan yang tidak disiplin membayar iuran.
Sementara pelaksanaan empat program jaminan sosial Ketenagakerjaan yang dilaksanakan oleh BPJS Ketenagakerjaan juga diwarnai berbagai persoalan, yaitu persoalan regulasi, di manna ada beberapa regulasi yang menghambat akses pekerja menjadi peserta keempat program jaminan sosial ketenagakerjaan dan menghambat akses pekerja mendapatkan manfaatnya.
Beberapa regulasi yang dicatat KRPI menghambat akses tersebut adalah :
a.Pasal 6 ayat (3) Perpres 109 tahun 2013 yang menempatkan pekerja di sektor mikro dan kecil tidak wajib ikut Program Pensiun, dan pekerja sektor kecil untuk ikut program JHT.
b.PP No. 60 tahun 2015 jo. Pasal 6 Peraturan menteri ketenagakerjaan no. 19 tahun 2015 yang tidak sesuai dengan isi Pasal 35 dan 37 UU SJSN sehingga pekerja tidak memiliki dana tabungan di JHT secara berkualitas.
c.Pekerja Mandiri tidak bisa bisa mendapatkan Jaminan Pensiun, seperti yang diamanatkan Pasal 42 ayat (1) UU SJSN. Tentunya pekerja mandiri pun punya hak yang sama dengan pekerja Penerima Upah lainnya.
d.Pasal 15 PP No. 45 tahun 2015 tentang pensiun memposisikan pekerja yang memasuki pensiun tidak otomatis langsung mendapatkan upah pensiun.
Kehadiran Pasal 15 tersebut mengatur tentang masa tunggu pekerja untuk mendapatkan manfaat pensiun.
Terkait dengan kepesertaan, jumlah kepesertaan pekerja di BPJS Ketenagakerjaan belum maksimal. Data kepesertaan pekerja di BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2017 terdiri dari :JKK- JKm : 43,44 juta dengan jumlah peserta yang aktif membayar 25,46 juta peserta, JHT (23,64 juta), JP (15,56 juta), PBPU (1,7 juta), dan PMI sebesar 998 ribu.
Persoalan kepesertaan ini tidak bisa dilepaskan dari masalah regulasi dan penegakkan hukum. Namun demikian kehadiran peserta PMI (Pekerja Migran Indonesia) dalam skema sistem jaminan sosial nasional (SJSN) merupakan hal yang bisa memberikan kepastian pekerja migran kita mendapatkan perlindungan baik sebelum bekerja, saat bekerja, maupun setelah pulang bekerja sebagai PMI di luar negeri.
Hakekatnya, jaminan sosial ketenagakerjaan juga menjadi hak konstitusional bagi pekerja mandiri miskin seperti buruh tani, nelayan, pedagang asongan, pemulung dsb. Elemem pekerja ini faktanya belum terintegrasi dalam skema SJSN kita. Padalah Pasal 17 ayat (4) UU SJSN memberikan kesempatan elemen pekerja ini mendapatkan jaminan sosial dalam instrumen PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang iurannya dibayar oleh pemerintah. Saat ini PBI bagi rakyat miskin baru sebatas program JKN.
Tentunya dengan adanya skema PBI (pertama kali untuk program JKK dan JKm) bagi pekerja miskin akan sangat mendukung peningkatan IPM bagi pekerja miskin, dan tentunya hal ini pun akan sangat mendukung pengurangan defisit JKN. Idealnya, sesuai Pasal 17 UU SJSN, pembiayaan iuran JKK JKm berasal dari APBN/APBD, namun mengingat defisit APBN yang cukup besar maka pembiayaan PBI untuk JKK JKm ini bisa dialokasikan dari dana operasional BPJS Kesehatan.
Ilustrasi kepesertaan PBI untuk program JKK JKm ini adalah total PBI Kesehatan sebanyak 92,4 juta orang, sementara itu pekerja miskin diasumsikan 1/3 dari jumlah PBI JKN tersebut yaitu 30,8 juta orang. Total pembiayaan untuk 30,8 juta pekerja miskin adalah sebesar Rp. 6,2 Triliun ( = 30,8 juta x Rp. 16.800 x 12 bulan). Tentunya pembiayaan ini bisa dilakukan secara bertahap yaitu untuk pertama kali dialokasikan bagi 5 juta pekerja miskin sehingga total biaya iurannyanya sebesar Rp. 1 Triliun (= 5 juta x Rp. 16.800 x 12 bulan) .
Terkait kondisi tersebut KRPI menawarkan rekomendasi pemerintah segera melakukan harmonisasi regulasi untuk menjamin seluruh pekerja di seluruh sektor usaha mendapatkan empat program jaminan sosial yaitu JKK, JKm, JHT dan JP. Pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan meningkatkan pengawasan dan penegakkan hukum sehingga seluruh pekerja memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Tentunya peningkatan pengawasan dan penegakkan hukum ini pun harus didukun oleh anggaran yang mumpuni.
“Menyelenggarakan program PBI untuk jaminan sosial ketenagakerjaan khususnya JKK JKm bagi pekerja miskin di tahun 2019 dengan alokasi dana dari dana operasional BPJS Ketenagakerjaan,” tambah Timboel Siregar. (grd)