
Kasus prostitusi online Vanessa Angel membuka wacana publik tentang pentingnya undang-undang yang bersifat khusus (lex spesialis) untuk mengatur secara rinci tentang kejahatan pidana sex yang difasilitasi dunia maya.
UU KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) diakui belum prostitusi online. Untuk itu, UU yang sedang direvisi dan sedang dalam pembahasan DPR bersama pemerintah itu harus mengatur secara rinci, termasuk pemberian saksi atau ancaman pidana yang bukan hanya berlaku bagi mucikarinya saja, tetapi juga berlaku kepada pengguna maupun pelaku atau perempuan yang dilacurkan (pedila).
Anggota Komisi III DPR Nasir Djamil mengungkapkan dari kunjungan kerja ke Polda Jawa Timur terkait kasus postitusi online yang melibat sejumlah artis, Kepolisian Daerah (Polda) Jatim menyatakan hingga saat ini kesulitan dalam sejumlah hal termasuk mengenakan sanksi pidana bagi pelaku yang memesan jasa Vannesa Angel. "Jadi, sampai hari ini Polda Jatim pun sulit mengenakan pasal prostitusi online dalam kasus Surabaya itu, karena belum diatur dalam KUHP," tegas Nasir Djamil dalam diskusi bertema 'Akankan Prostitusi Masuk RUU KUHP Seperti Keinginan Polisi' di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (19/2) kemarin.
Nasir bercerita setelah bertemu Polda Jatim itu, jumlah artis dan mantan putri Indonesia yang terlibat ternyata jumlahnya mencapai ratusan. Mereka beralasan terjebak gaya hidup untuk memenuhi kebutuhan perawatan kecantikan, mencicil rumah, mobil, dan barang-barang bermerek lainnya yang harganya sangat mahal.
Dari hasil pemeriksaan polisi juga diketahui bahwa harga sekali kencan yang dipatok sebesar Rp 80 juta, hanya diterima si artis setengahnya saja, bahkan ada yang menerima bayaran di bawah lagi setelah dikurangi bermacam biaya pengeluaran. Pasca penangkapan di Surabaya itu, memang dunia prostitusi online sepi, tetapi tak lama kemudian ramai lagi di tempat lain.
Dari studi kasus prostitusi online yang terungkap, Nasir mengaku praktik prostitusi mengikuti peradaban manusia itu sendiri. Kemajuan teknologi telah disalahgunakan untuk pekerjaan yang disebut-sebut menjadi pekerjaan tertua di dunia itu. "Tapi, intinya harus diatur oleh UU karena prostitusi ini melanggar etika masyarakat, aturan agama, dan tidak sejalan dengan Pancasila bahwa Indonesia sebagai negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa," tegasnya.
Anggota Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Sri Nurherwati mengakui dari hasil pemantauan dan kajian Komnas Perempuan diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada seorang perempuan yang terjebak di dalam prostitusi karena kerelaan memilih prostitusi sebagai pekerjaannya. "Karena semua mengatakan sadar bahwa ini melanggar agama, ini tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan sebenarnya ini siksaan buat mereka, penderitaan buat kami yang ada di prostitusi," ujarnya.
Sri juga mengaku dari sejumlah kasus palacuran, aparat penegak hukum menggunakan perangkat aturan yang tidak secara spesifik mengenakan kasus pelacuran melalui UU KHUP tetapi UU lainnya seperti UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Tapi UU ini menyasar secara umum karerna dilahirkan untuk bisa mengatasi persoalan perdagangan orang yang melibatkan mafia-mafia besar, "Tetapi ada juga yang prostitusi yang tidak bisa digunakan kedua undang-undang ini (UU ITE dan UU TPPO) karena memang tidak menggambarkan situasi dua situasi ini," ujarnya.
Sri menjelaskan investigasi Komnas Perempuan, diketahui bahwa aparaty penegak hukum kita tidak memiliki mekanisme hukum yang jelas untuk dipedomani untuk menindak prostitusi online. "Sehingga yang jelas makanya tadi kesulitan kepolisian pokoknya ini harus dihukum, ya… undang-undang yang ada aja yang kita pakai, pakailah undang-undang ITE," sebut Sri. (har)