
Keputusan Menteri Perdagangan, Enggartiasto Lukita yang menolak memberikan izin impor 100 ribu ton bawang putih oleh Perum Bulog, dinilai tepat. Selain kebijakan itu dinilai memberikan keberpihakan bagi para petani, seharusnya pemerintah mengoptimalkan dulu penggunaan cadangan bawang putih yang masih ada.
Ketua Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih memgatakan, hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah saat ini bukanlah melakukan impor, melainkan memaksimalkan operasi-operasi pasar. "Saya pikir lebih baik kita menolak impor dulu. Selain itu kita maksimalkan operasi pasar, karena bisa saja bawang putih masih ada di pasaran," ujar Henry di Jakarta, Selasa (9/4).
Langkah Mendag untuk mengeluarkan keputusan tersebut diyakini bukan karena tanpa alasan. Pasalnya, Kementerian Perdagangan dipastikan mengetahui secara persis keberadaan stok dipasaran. "Kemendag juga yang tahu ada atau tidaknya stok bawang putih di pasaran," tambahnya.
Ditegaskan, penolak impor itu sejatinya sejalan dengan program yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Manalagi, Presiden telah melihat area baru penanaman bawang putih Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. "Karena dulu sebelum perdagangan bebas 1998 itu kita Cuma 10% impor bawang putih. Tapi setelah itu Indonesia tidak bisa membatasi perdagangan impor, akhirnya kita terbalik impornya besar dari pada produksi dalam negeri," tandasnya.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Azam Azman Natawijaya mengatakan, keputusan Mendag untuk tidak memberikan izin impor kepada Bulog merupakan kewenangan sepenuhnya. Namun, hal itu tentunya harus didukung dengan data yang akurat. "Harus dengan data. Kalau Mendag bilang tidak perlu impor, ya tidak usah dilakukan, namun harus yakin bahwa impor itu tidak perlu, karena harga-harga di pasar itu, semua ada di tangan Mendag,” ujarnya.
Meski demikian, dikatakan, Kemendag memiliki kewajiban juga untuk memastikan dan mengatur distribusi dan stabilitas harga komoditas. Sehingga sah-sah saja jika Mendag menyatakan tidak perlu impor bawang putih. "Kalau mendag bilang tidak perlu impor ya silakan saja," imbuhnya
Lebih lanjut dia tetap mempertanyakan penunjukkan impor kepada Bulog itu.
"Untuk impor bawang itu ada syarat tanam 5 persen, kemudian Bulog dikecualikan, dasarnya apa dia dikasih pengecualian? Kalau tidak ada dasarnya kenapa dilakukan?Semua harus ada dasar hukumnya, jangan like dan dislike, jadi kalau semua ada dasar hukumnya, negeri ini aman," tegasnya.
Dihubungi terpisah, Ketua Bidang Pemberdaya Fortani, Pieter Tangka mengatakan, petani bawang putih sebenarnya cukup terbantu dengan adanya kebijakan impor yang mensyaratkan wajib tanam 5% dari kuota impor. Namun dengan adanya diskresi impor bawang putih kepada Bulog, petani merasa cukup kecewa. "Kalau Bulog yang mengimpor, kan mereka tidak perlu menyediakan lahan untuk ditanam. Petani lebih suka impor yang biasa, yang ada kewajiban 5%," ujar Pieter.
Pasalnya, jika lewat importir umum, petani dapat diberdayakan untuk melakukan penanaman guna memenuhi kewajiban produksi 5% dari kuota impor. Hal inilah yang diluputkan dari penugasan kepada Bulog untuk mengimpor bawang putih.
Karena itu Pieter meyatakan, selain mencederai petani, keputusan impor oleh Bulog juga mencederai Permentan Nomor 38 Tahun 2017 tentang RIPH.
Pada akhirnya, penugas impor bawang putih kepada Bulog tanpa syarat wajib tanam juga bertentangan dengan rencana pemerintah untuk berswasembada bawang putih. Dikarenakan dengan kuota impor yang mencapai 100 ribu ton untuk Bulog, sama sekali tidak ada lahan baru untuk penanaman bawang putih.
Pieter pun memandang kebijakan impor bawang putih lewat Bulog menjadi makin mengecewakan karena badan tersebut sama sekali tidak memiliki pengalaman untuk mengimpor komoditas yang satu ini. Alhasil, kondisi ini dipandang akan melahirkan “lubang tikus” di mana Bulog akan menyubkontrakkan kuota impornya kepada importir lain. (son)