Mitigasi Bencana Kurangi Risiko pada Pariwisata

JAKARTA (Bisnisjakarta)-
Indonesia dikaruniai daya tarik alam terindah di dunia. Menurut  situs pemandu perjalanan yang menjadi rekomendasi para traveler dunia khsusnya dari Eropa, dari 20 negara yang masuk daftar Indonesia berada di peringkat 6, sedangkan 2 negara dari Asia lainnya; India berada di peringkat 3 dan Vietnam peringkat 20.

Di balik keindahan alam  tersebut,  posisi Indonesia  di peta dunia yang berada di  di daerah ‘cincin api’  (ring of fire) merupakan negara ‘super market benca’. Hampir setiap tahun mengalami bencana alam; gempa bumi, erupsi maupun tsunami yang kerap kali berdampak pada pariwisata.

Oleh karena itu, program mitigasi bencana dalam meminimalisir dampak pada pariwisata menjadi salah satu program strategis Kementeri Pariwisata (Kemenpar). "Bencana kapan saja bisa terjadi, tidak bisa diprediksi dan  relatif tidak bisa dihindari. Tetapi yang terpenting kalau sudah terjadi,  bagaimana mengatasinya dan bagaimana kita meminimalisir risiko yang diimbulkan. Untuk ini Kemenpar  sudah membuat tim Mitigation Plan dengan menggunakan standar dunia dari UNWTO,” kata Menteri Pariwisata  (Menpar) Arief Yahya dalam diskusi dan sosisalisasi  mitigasi bencana  bertema ‘Be aware, Beprepare Before Traveling’  yang digelar  oleh bagian Manajemen Krisis Kepariwisataan, Biro Komunikasi Publik (Komblik) Kemenpar bersama Forum Wartawan Pariwisata (Forwapar) di Jakarta, Rabu (27/2).

Menpar Arief Yahya dalam paparannya berjudul ‘Mitigasi Bencana Sektor Pariwisata’ menjelaskan,  disaster atau bencana dampaknya sangat besar bagi dunia pariwisata. Bencana alam maupun bencana keamanan seperti terorisme tidak dapat diprediksi. Bencana alam erupsi, gempa bumi dan tsunami yang terjadi dalam dua tahun berturut-turut  belakangan ini  telah mengganggu target pariwisata nasional.

Bencana erupsi Gunung Agung  pada 2017 memberi dampak terhadap pariwisata Bali  kemudian berlanjut pada  2018  muncul bencana gempa bumi di Lombok yang berdampak pada pariwisata NTB.  “Bencana alam membawa impact sangat besar pada pariwisata. Sebagai ilustrasi  peristiwa erupsi Gunung  Agung  Bali  pada 2017 memberi dampak  hilangnya potensi  kunjungan 1 juta  wisman dengan pengeluaran sebesar US$ 1miliar karena pengeluaran rata-rata wisman US$ 1.000 per orang perkunjungan,” kata Arief Yahya.

Lalu, bagaimana seharusnya mitigasi bencana dalam pariwisata? Dalam menangi bencana , baik itu terorisme atau bencana alam yang dapat  terjadi kapan saja, Kemenpar  telah mempunyai  SOP untuk  penanganannya yang terbagai dalam tiga tahapan; Tanggap Darurat,  Tahap Rehabilitasi  (Pemulihan), dan berlanjut pada Tahap Normalisasi  (Recovery).

Pada masa tanggap darurat ,  menurut Arief Yahya lebih lanjut, merupakan masa yang sangat rawan  terhadap pemberitaan  maupun informasi yang salah (hoax) karena kesalahan tersebut membuat truma bagi wisatawan  atau terjadi cancellation. "Begitu muncul bencana,  media gencar memberikan  kemudian diikuti travel advisory dari negara-negara sumber wisman. Bila pemberitaan bencana tersebut cepat dan akurat akan mengurangi dampak negative pada pariwisata,” kata Arief  Yahya seraya mengatakan, di sini peran media sangat  menentukan terhadap proses penangan wisatawan.

Menpar Arief Yahya menjelaskan,  hal yang paling berpengaruh terhadap kunjungan wisman ke wilayah rawan bencana adalah status bencana di daerah tersebut;  mulai dari status waspada, siaga, awas, hingga status darurat. “Begitu pemda menetapkan daerah statusnya ‘darurat’ apa yang terjadi? Di seluruh dunia menerbitkan travel warning atau travel advisor tidak boleh berkunjung ke daerah itu."
Menpar mencontohkan peristiwa erupsi Gunung Agung pada 2017 adanya pengumuman status darurat,  Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) kemudian menerbikan travel advisor  dan akibatnya  tidak satu pun wisman Tiongkok berkunjung ke Bali. Selanjutnya, kita mengusulkan ke Presiden Jokowi  agar  status darurat kebencanaan tersebut dicabut.  Ketika status darurat dicabut,     kunjungan wisman Tiongkok ke Bali normal kembali. "Dengan  pertimbangan yang  sama, menjadi alasan mengapa pemerintah waktu itu tidak menetetapkan bencana gempa di Lombok dengan kondisi darurat,” kata Arief Yahya.

Pada kesempatan itu Menpar menegaskan kembali dalam mitigasi bencana  pemerinah wajib pengumumkan apa yang terjadi  dan mencabut semua promosi tentang daerah yang terkena bencana.  Selain itu Memberikan informasi akurat pada masyarakat dan industri pariwisata. “Keselahan dalam memberikan informasi bisa menyebabkan terjadi cancellation kunjungan wisatawan,” kata Arief Yahya.

Kegiatan diskusi dan sosialisasi  mitigasi bencana  diikuti sekitar 100 peserta  dari  kalangan media dan industri pariwisaa dengan menghadirkan sejumlah nara sumber  Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB  Sutopo Purwo Nugroho ; Managing Director PT Banten West Java, Bapak Fachrully R Lahasido ; Head of Travel Insurance and Media Communication Division PT ACA Asuransi, Bapak Sugiarto Grahihah ; VP Corporate Secretary PT Angkasa Pura I, Hendi Haryudhitiawan ; Ketua Astindo, Bapak Rudiana ; dan  Kepala Bagian Humas BMKG, Bapak Ahmad Taufan Maulana dan Kepala Komblik Kemenpar Guntur Sakti sebagai moderator.  (son)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button