
Pengelolaan Bawah Kendali Operasi (BKO) TNI kepada polisi perlu dirumuskan dan diperbaiki lebih baik lagi. Keinginan penegakan hukum dengan melibatkan TNI dinilai memiliki tujuan baik. Tetapi apabila salah dalam menerapkan BKO TNI maka justru akan makin menjauhkan TNI dari fungsi idealnya sebagai alat pertahanan negara. Persoalan tersebut mengemuka dalam diskusi Forum Legislasi, mengambil tema 'Quo Vadis TNI' di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/3).
Anggota Komisi I DPR Effendi Simbolon berpandangan, banyak hambatan dan kendala terkait persoalan itu. Salah satunya sisi loyalitas prajurit TNI yang akan menjadi faktor kendala utama yang akan berpengaruh dalam praktik dilapangan.
Indonesia menurutnya bukanlah Amerika Serikat yang tentaranya benar-benar ada di barak. Sedangkan TNI ada dimana-mana yang kerap mendapat tugas tidak sesuai dengan Tupoksinya. "Disinilah yang mesti dijawab kemana sebenarnya arah TNI kita. Harus lebih jelas lagi. Saya tak bermaksud mengkritisi TNI. Saya bersama TNI. Karena tugas TNI langsung kepada negara dan bangsa. Jadi harus lebih jelas lagi,” katanya.
Di Indonesia, kata dia, TNI lebih banyak dalam penugasan tidak dalam penugasan perang. Penugasannya hanya setingkat sebagai penjaga perdamaian, tidak sama seperti di AS, ada gelar pasukannya di seluruh dunia.
Jadi, katanya, bisa dibayangkan apabila TNI yang seringkali tidak punya ruang gerak lalu melakukan upaya yang tidak sesuai dengan habitat mereka. "Habitat mereka adalah bertempur. Berbeda dengan polisi. Walau polisi bawa senjata namun cara pegang senjatanya saja berbeda dan rumusan militer berbeda dengan sipil yang dipersenjatai yang kita kenal sebagai Polisi," katanya.
Ia berpendapat perlu dirumuskan lagi ketentuan untuk menuju TNI ke satu titik yang posisi didudukan pada posisi paling Ideal. "Betul keputusan itu adalah keputusan politik. Tapi kita ingin lebih melihat politik negara ke arah membawa TNI yang ideal," tegasnya.
Sejauh ini, kerjasama TNI dengan Polri dilakukan berdasarkan kesepahaman bersama (MoU) antara TNi dengan Polri. Namun, dalam revisi UU Anti Pemberantasan Teroris sempat mengemuka perlunya pasal-pasal yang mengatur lebih rinci tentang pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme.
Selain itu, persoalan ini juga menjadi wacana dalam revisi UU TNI. Juga wacana diterbitkannya peraturan presiden untuk menempatkan perwira TNI aktif berada dalam posisi strategis di lembaga pemerintahan maupun kementerian. Untuk wacana terakhir sempat menuai perdebatan karena pemerintah saat ini dinilai mau mengembalikan lagi dwifungsi ABRI atau TNI seperti di era orde baru lalu. (har)