
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengungkapkan materi ujian akhir nasional (UN) untuk siswa sekolah cenderung menekankan pada hafalan pelajaran bukan pada kompetensi siswa. Untuk itu, Kemendikbud tegas akan mengakhiri penyelenggaraan UN dan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Penegasan disampaikan Nadiem saat memaparkan empat pokok program kebijakan pendidikan yang dinamakan "Merdeka Belajar". "Program tersebut meliputi Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional ( UN), Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Zonasi," ujar Nadiem Makarim dalam rapat koordinasi bersama Menko PMK dan Kadisdik seluruh Indonesia di Jakarta, Rabu (11/12).
Nadiem mengatakan empat program pokok kebijakan pendidikan tersebut merupakan penjabaran dari arahan kebijakan Presiden Joko Widodo dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Iapun merinci empat program yang ditetapkan tersebut. Pertama, mengenai arah kebijakan baru penyelenggaraan USBN, yaitu pada tahun 2020 ujian penyelengaraan USBN diserahkan kepada pihak sekolah. "USBN akan dikembalikan pada esensi Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yakni dikembalikan ke sekolah. Termasuk untuk menentukan kelulusannya sendiri," ujarnya.
Alasannya, penyelenggaraan USBN selama ini dinilai tidak optimal dalam mengukur kompetensi dasar yang dimiliki oleh siswa. Karena materi ujian cenderung fokus pada hafalan bukan pada kompetensi.
Sehingga nantinya ujian dilakukan untuk menilai kompetensi siswa dalam bentuk tes tertulis atau bentuk penilaian lainnya yang lebih komprehensif, seperti portofolio dan penugasan, baik itu tugas kelompok, karya tulis, dan sebagainya. "Dengan itu, guru dan sekolah lebih merdeka dalam penilaian hasil belajar siswa," ucap Nadiem.
Dengan demikian, anggaran USBN juga dapat dialihkan untuk mengembangkan kapasitas guru dan sekolah, guna meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kedua, mengenai Ujian Nasional (UN), Nadiem menjelaskan tahun 2020 merupakan pelaksanaan UN terakhir kalinya. "Penyelenggaraan UN tahun 2021, akan diubah menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter," kata Nadiem.
Selama ini, menurutnya UN hanya menilai satu aspek saja yakni sisi kognitifnya saja. Bahkan, tidak semua aspek kognitif kompetensi diuji dalam UN. Justru materi kognitif pada ujian akhir nasional lebih banyak pada penguasaan materinya dan belum menyentuh karakter siswa secara lebih holistik.
Oleh karena itu, pada 2021 penerapan UN dimulai pada siswa yang berada di tengah jenjang sekolah misalnya kelas 4, 8, 11, sehingga dapat mendorong guru dan sekolah untuk memperbaiki mutu pembelajaran siswa. Hasil ujian ini tidak digunakan untuk basis seleksi siswa ke jenjang selanjutnya. "Arah kebijakan ini juga mengacu pada praktik baik pada level internasional seperti Programme For Internasional Student Assessment (PISA) dan Trend in Internasional Mathematich and Science Studi (TIMSS),” katanya.
Ketiga, mengenai Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), Kemendikbud akan menyederhanakannya dengan memangkas beberapa komponen. Yaitu memberi keleluasaan kepada guru secara bebas dapat memilih, membuat, menggunakan, dan mengembangkan format RPP.
Tiga komponen inti RPP terdiri dari tujuan pembelajaran, kegiatan pembelajaran, dan asesmen. "Penulisan RPP dilakukan dengan efisien dan efektif sehingga guru memiliki lebih banyak waktu untuk mempersiapkan dan mengevaluasi proses pembelajaran itu sendiri. Satu halaman saja cukup," kata Nadiem.
Keempat, dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB), Kemendikbud tetap menggunakan sistem zonasi, namun dengan kebijakan yang lebih fleksibel untuk mengakomodasi ketimpangan akses dan kualitas di berbagai daerah.
Yaitu komposisi PPDB jalur zonasi dapat menerima siswa minimal 50 persen, jalur afirmasi minimal 15 persen, dan jalur perpindahan maksimal 5 persen.
Untuk jalur prestasi disesuaikan dengan kondisi daerah. "Daerah berwenang menentukan proporsi final dan menetapkan wilayah zonasi," ucap Nadiem.
Sementara itu, Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menyambut baik kebijakan Mendikbud Nadiem Makarim yang menghapus UN mulai tahun 2021. Namun, Dewan mengingatkan pengganti UN harus lebih progres membenahi dan memperbaiki sistem penyelenggaraan ujian nasional. "Supaya ini tidak menjadi kebijakan parsial dan tidak implementatif di lapangan, kita ingin kebijakan penghapusan UN ini harus lebih progres ke depan. Harus lebih baik dari UN," kata Huda.
Untuk membahas mengenai penghapusan UN tersebut, Komisi X akan memanggil Nadiem dalam rapat kerja pada Kamis (12/12) di DPR. "Salah satu yang akan kami tanyakan menyangkut kebijakan penghapusan. Prinsip kita dukung, sangat mendukung. Tinggal pasca penghapusan ini apa langkah-langkahnya karena yang kita hadapi ini dunia pendidikan nasional yang problemnya pelik, kompleks. Jangan sampai kebijakan ini berhenti sampai di paper saja," tegasnya. (son/har)