
Anggota MPR/DPR Fadli Zon mengungkap, banyak cara atau trik dari seseorang maupun kelompok untuk mempertahankan kekuasannya. Salah satu caranya adalah dengan mengubah konstitusi UUD 1945. "Dalam penelitian itu setidaknya ada 5 (lima) cara dari seorang petahana untuk mempertahankan kekuasaannya dan cara mempertahankan kekuasaan itu ada macam-macam, termasuk misalnya untuk mengubah konstitusi," ujar Fadli Zon di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12).
Cara lain, menurut Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini adalah melakukan tafsir terhadap konstitusi atau melakukan uji materi (judicial review) melalui Mahkamah Konstitusi (MK). "Ada yang sampai berusaha untuk menunda pemilu dan seterusnya jadi termasuk juga menempatkan seorang boneka seperti yang terjadi dalam kasus Putin-PM Medvedev," ungkap Fadli.
Oleh karen itu, kalau saat ini ada pihak yang melempar wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 (tiga) periode maka itu merupakan bagian dari cara petahana untuk mempertahankan kekuasaannya. "Saya kira ini satu wacana yang sangat berbahaya karena memang ada kecenderungan dari petahana itu berusaha untuk extend kekuasaannya," tegas Fadli.
Anggota MPR/DPR lainnya Saifullah Tamliha mengaku sudah dapat menakar sulitnya melakukan perubahan atau amandemen UUD 1945 terlebih wacana yang dimunculkan terkesan hanya untuk mempertahankan kekuasaan partai atau kelompok tertentu. "Saya sudah bisa menakar bahwa terlalu sulit melakukan amandemen, karena selama saya jadi pimpinan Fraksi PPP di MPR. Jangankan untuk soal jabatan presiden, untuk GBHN saja itu sampai detik-detik terakhir itu tidak ada kesepakatan," ujarnya.
Untuk amandemen UUD terkait GBHN, Saifullah mengungkap dari sembilan fraksi di MPR dan satu kelompok DPD RI, 3 fraksi tidak menghendaki adanya GBHN masuk dalam kontitusi tetapi cukup diakomodir melalui Undang-Undang (UU) saja. "Dan ada 7 fraksi yang menyatakan ingin melalui Ketetapan (TAP) MPR saja, karena ini hanya soal perencanaan pembangunan saja," kata politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik Emrus Sihombing mengakui tiap fraksi-fraksi di MPR dan DPR yang merupakan kepanjangan tangan partai politik memiliki perspektif berbeda. "Perspektif Golkar akan beda, perspektif partai PDI perjuangan berbeda dan lain sebagainya. Sehingga akan terjadi di sana (MPR dan DPR) kepentingan-kepentingan politik yang akan mewarnainya. Nggak heran konstitusi kita nanti bisa diubah lagi," ujarnya.
Oleh karena itu, ia menawarkan solusi agar tiap wacana yang dilemparkan agar dinilai rakyat memang untuk tujuan bangsa dan negara, bukan untuk tujuan pragmatis politisi maka sebaiknya MPR membentuk tim independen yang berisi akademisi dan peneliti yang bebas dari kepentingan partai. "Nah, kenapa tidak diberikan kepada akademisi, pakar-pakar hukum yang ada di Indonesia, misalnya ada 1000 akademisi dan pakar mendaftar sesuai dengan kriteria yang diberikan. Baru kemudian nanti dari situ diundi untuk masuk anggota tim. Jangan ada intervensi dari kekuatan politik apa pun," tegas Pengajar dari Universitas Pelita Harapan ini. (har)