Sultan Minta Kedepankan Pancasila dalam Berdemokrasi

YOGYAKARTA (Bisnis Jakarta)-Gubernur Daerah Istimewa  Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengkubowono X mengingatkan agar demokrasi di Indonesia mengedepankan demokrasi ala Indonesia yaitu Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa.

Penegasan disampaikan Sultan karena mencermati demokrasi yang berkembang saat ini sudah tidak sesuai dengan  nilai-nilai yang telah diletakkan para pendiri bangsa. Yaitu demokrasi yang terjebak pada kepentingan kelompoknya yang berprinsip pada menang atau kalah dan demokrasi mayoritas menindas yang minoritas. "Semua negara mengatakan demokratis. Korea Utara pun mengatakan demokrasi ala Korea Utara, Tiongkok mengatakan demokrasi ala Tiongkok, Amerika Serikat, ya… demokrasi ala Amerika. Kenapa kita tidak bisa mengatakan demokrasi ala Indonesia?" ucap Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam sambutannya pada Sosialisasi 4 Pilar MPR bertema 'Konsolidasi Nasional Menuju Pemilu 2019'  di Yogyakarta, Jumat (19/10) malam.

Turut dihadir Wakil Ketua MPR Mahyudin dan Ahmad Muzani, Ketua Fraksi MPR dari Fraksi Partai Gerindra Fary Djemi Francis, Ketua Fraksi MPR dari Fraksi PPP Arwani Tomafi, Ketua Fraksi MPR dari FraksiHanura Jhoni Rolindrawan, serta Ketua Fraksi dari Fraksi Partai Demokrat Ayub Khan.

Menurut Sultan, pada awal kemerdekaan para pendiri bangsa ini telah sepakat meletakkan dasar-dasar dan tujuan negara, yang saat ini dikenal dengan 4 Pilar Kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI.

Sultan mengatakan sebagai mantan Ketua DPD salah satu partai di daerahnya pada era 1978-1992, dan menjadi gubernur selama hampir  20 tahun, ia berpandangan proses demokrasi melalui  pemilu legislatif dan pemilihan presiden, semua pihak selalu mengedepankan kepentingan kelompoknya.

Padahal semua warga di republik ini dimanapun bahasa dan suku adat nya harus dihargai sebagai sesama anak bangsa dan dilindungi oleh konstitusi. Oleh karena itu, ia meminta demokrasi jangan selalu dimaknai kalah menang, atau mayoritas minoritas.

Mestinya dengan Ika (satu) seperti yang tercermin dalam semboyan negara yaitu Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu, tiap warga bangsa tetap menjaga kebersamaan terutama para pemimpin pasca pesta demokrasi melalui tidak harus mengedepankan ego kelompoknya. "Jadi, kalau memang punya potensi lawan politiknya, dan kalah. Lalu apa tidak boleh bisa menjadi menteri? Masa harus juga keluar (tidak di pemerintahan). Itu model demokrasi Indonesia atau model demokrasi mana? Apakah kita tidak bisa membuat demokrasi ala Indonesia sendiri dalam kebersamaan itu?" gugatnya.

Untuk itu, Sultan meminta semua pihak berkepentingan di republik ini untuk merenung kembali apakah demokrasi yang  sudah dijalankan saat ini telah sesuai dengan nilai-nilai ke Indonesiaan. "Jadi saya berharap dari dua hal  yang saya sampaikan itu  apakah kita sudah sesuai dengan tujuan para founding fathers dalam membangun negara ini? Kemudian kedua bagaimana semua partai ini bisa mengikat Indonesia ini agar tidak bubar," tegasnya.

Ketua Fraksi Partai Gerindra Fary Djemi Francis sepakat bahwa demokrasi harus menjunjung tinggi perbedaan. Ia mengingatkan pemerintah jangan menganggap oposisi sebagai musuh berkompetisi, tetapi jadikan oposisi sebagai teman berdemokrasi.

Fary mengatku sepakat dengan Gubernur DI Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Bawono X, bahwa saat ini demokrasi di Tanah Air sedang menghadapi berbagai ujian. Karena itu dibutuhkan sikap kedewasaan dalam menyikapi perbedaan.

Demokrasi adalah cara paling tepat dalam menjalankan roda bernegara. Kedaulatan sepenuhnya berada di tangan rakyat. Namun ironisnya, kadang demokrasi saat ini malah melahirkan beragam persoalan. Seperti konflik horizontal, kampanye SARA, berita hoax, fitnah, money politics, dugaan keberpihakan penyelenggara dan lain sebagainya.

Perbedaan maupun perdebatan adalah hal biasa dalam demokrasi. Bangsa Indonesia pun bisa besar karena perdebatan panjang para founding father. Namun, perdebatan itu dilakukan bukan untuk menghancurkan, tetapi dengan semangat saling menguatkan. "Karena itu, pemerintah seharusnya berterima kasih kepada oposisi karena di saat pemerintah salah jalan, pihak oposisi lah yang meluruskan. Jangan anggap oposisi sebagai musih berkompetisi, tetapi jadikan oposisi sebagai teman berdemokrasi," kata Fary yang juga Ketua Komisi V DPR. (har)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button