UU Cipta Kerja Dinilai Cacat Hukum

JAKARTA (Bisnis Jakarta) – RUU Cipta Kerja adalah RUU inisiatif Pemerintah. Draft disusun Pemerintah di bawah komando Menko Perekonomian, Airlangga Hartato. Metode yang digunakan omnibuslaw berdampak pada setidaknya 79 UU eksisting dan tambahan substansi terkait pembentukan Lembaga Penjamin Investasi. Sejak digagas oleh Menko Perekonomian, RUU ini menuai protes dari berbagai kalangan, termasuk pekerja, karena dianggap tidak membuka ruang publik dalam penyusunan RUU. Namun, Pemerintah dan DPR memutuskan melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja dalam forum Panja yang terdiri dari Pemerintah dan Baleg DPR RI.

Penolakan dari berbagai pihak diredam dengan janji akan membuka ruang untuk memberi masukan secara terbuka dalam proses pembahasan. Beberapa perwakilan masyarakat memang diberi kesempatan untuk menyampaikan gagasan. Namun, ruang publik yang dijanjikan terindikasi hanya sebagai kamuflase agar terkesan telah memenuhi Pasal 96 UU No. 12 tahun 2011 yang mengamanatkan adanya pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan suatu undang-undang.

Berbagai usulan masyarakat seperti angin lalu, meskipun argumentasi filosofis, juridis, maupun sosiologis yang disampaikan berbagai pihak jauh lebih kuat karena bernafaskan konstitusi UUD 1945, ketimbang muatan Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja yang dibuat Pemerintah.

Senin, 5 Oktober 2020 dalam Paripurna DPR RI, RUU Cipta Kerja disahkan sebagai undang-undang. Ajaibnya terindikasi kuat sesungguhnya tidak ada draft final yang dibawa ke Paripurna. “Itu dapat dilihat di rekaman tayangan televisi, yang diserahkan hanya laporan tipis Ketua Panja kepada pimpinan DPR RI,” ujar Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat KRPI, Saepul Tavip dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Selasa (6/10).

Ia menilai,. Hingga hari ini, baik Pemerintah, maupun DPR RI tidak menyampaikan kepada publik materi UU Cipta Kerja yang diputuskan di Paripurna. Sama dengan lapisan masyarakat lainnya, KRPI hanya mendapatkan draft yang “katanya” draft final RUU Cipta Kerja dan “katanya” dibagikan ke media oleh salah satu pimpinan Baleg DPR RI. “Pertanyaan dasar dapatkah suatu RUU disahkan sebagai UU tanpa ada draft final?,” ujarnya bernada tanya.

Jika draft yang “katanya” draft final RUU Cipta Kerja tersebut dan sudah beredar benar adanya, pertanyaan berikutnya, khususnya klaster ketenagakerjaan, mengapa isi draft final berbeda dengan keputusan rapat panja RUU Cipta Kerja, Minggu, 27 September 2020, di Hotel Swissbell Tangerang. Ino terlihat pada dokumentasi di tayangan TV Parlemen yang saat itu menyiarkan secara live.

KRPI menilai ada sabotase.keputusan panja terhadap klaster ketenagakerjaan. Ini terlihat pada Pasal 59 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Pasal 66 tentang alih daya (outsourcing) yang menyebutkan,.syarat PKWT maksimal 3 tahun dihapus dan hanya ada sekali perpanjangan PKWT, outsourcing tanpa batasan, berlaku bagi jenis pekerjaan apapun (core dan non core), yang di UU 13/2003 jelas batasannya.

“Bunyi pasal tersebut jelas bernuansa kental semangat fleksibilitas yang memastikan penurunan perlindungan terhadap pekerja, pekerja semakin rentan dilanggar hak-hak normatifnya, seperti upah minimum (termasuk upah lembur) dan jaminan sosial,” nilai Saeful Tavip.

Selain itu, Pasal 88C tentang pengaturan upah minimum Provinsi menjadi wajib ditetapkan oleh Gubernur, sementara upah minimum Kabupaten/Kota menjadi dapat ditetapkan Bupati/Walikota. “Frase tersebut dapat berarti tidak wajib lagi sebagaimana diamanatkan dalam UU 13/2003. KRPI menilai perubahan substansi tersebut berpotensi mereduksi nilai upah, sehingga mengancam penurunan kesejahteraan dan daya beli pekerja,” imbuhnya.

Pasal 151 dan Pasal 151A tentang prosedur dan mekanisme PHK yang lebih dilonggarkan, serta kompensasi PHK yang direduksi dengan dihilangkannya ketentuan 15% uang penggantian hak, dihapuskannya ketentuan tentang alasan dan perhitungan kompensasi PHK di berbagai pasal di UU 13/2003, yang selanjutnya akan diatur di dalam Peraturan Pemerintah (PP). Pengaturan ini, menurutnya, menunjukkan proses menurunkan tingkat perlindungan pekerja ketika mengalami PHK. Praktek easy hiring, easy firing yang membahayakan keberlangsungan bekerja bagi pekerja Indonesia.

Pasal 42 sampai Pasal 49 tentang penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) lebih longgar. Pengaturan ini menunjukkan sikap tidak berpihak pada penciptaan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia dan melemahkan perlindungan terhadap pekerja Indonesia. Ia juga menyorot Pasal 77 tentang jam kerja lembur yang lebih panjang. Hal ini akan berpotensi buruk terhadap eksploitasi tenaga buruh/pekerja dan kesehatan mereka.

Pasal 46A dan 82 tentang tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan dan Pemerintah. Pengaturan ini juga berpotensi menurunkan imbal hasil JHT buruh/pekerja saat diatur lebih lanjut dalam PP.. “Dengan demikian, UU cipta Kerja ini terindikasi kuat cacat hukum, cacat formil dan materiil serta bertentangan dengan UUD 1945 dan TAP MPR XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. UU ini juga tidak berpihak dan tidak melindungi pekerja/buruh Indonesia, serta tidak menjamin terciptanya lapangan kerja yang layak bagi rakyat Indonesia. Karena itu KRPI memutuskan menolak UU Cipta Kerja dan mendesak pembatalan UU Cipta Kerja dan mendesak Presiden Republik Indonesia demi hukum mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang pembatalan pengesahan UU Cipta Kerja,” tegas Saeful Tavip.

Pihaknya juga akan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, jika Pemerintah memaksakan mengundangkan UU Cipta Kerja. (rah)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button