
Kisruh Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang sudah terjadi sejak penyelenggaraan Pemilu 1999 hingga Pemilu Serentak 2019 seolah tak berujung. Meskipun pada Pemilu Serentak 2019 sudah menerapkan Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (e-KTP) namun persoalan DPT untuk pemilu masih menyisakan persoalan. "Artinya, DPT merupakan masalah besar bagi pemerintah, siapapun yang berkuasa. Bayangkan sejak pemilu 1999 sampai pemilu 2019 ini, selalu ada masalah DPT. Misalnya dalam Pemilu 2014, PDIP mempersoalkan 10, 8 juta DPT yang bermasalah," ungkap Anggota MPR RI, Viva Yoga Mauladi dalam diskusi bertema 'Mengawal Legitimasi DPT Pemilu 2019' di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (15/3).
Persoalan DPT kini muncul kembali setelah Bawaslu mendapati adanya warga negara asing (WNA) yang masuk dalam DPT. Begitu juga KPU yang menemukan sebanyakj 370 WNA masuk dalam DPT. Jumlah itu merupakan pengembangan dari laporan awal Ditjen Dukcapil Kemendagri yang menginformasikan temuan atas 103 nama WNA pemilik KTP elektronik yang masuk dalam DPT.
Bahkan, Direktur Komunikasi dan Media Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Hashim Djojohadikusumo, melaporkan adanya DPT yang dianggap tidak wajar sebanyak 17,5 juta ke KPU.
Viva Yoga menjelaskan ada beberapa alasan mengapa DPT sangat penting untuk dipersoalkan. “Kita mempersoalkan DPT bukan dalam rangka mendelegitimasi pemilu dan bukan dalam rangka mencurigasi kecurangan dan manipulasi data pemilu,” ujarnya.
Ada tiga alasan mengapa DPT perlu dipersoalkan. Pertama adalah untuk menyelamatkan hak konstitusional warga negara Indonesia yaitu hak memilih dan dipilih. “Negara harus menjamin hak warga negara itu. Itulah pentingnya DPT,” ucap anggota BPN Prabowo-Sandi tersebut.
Kedua, untuk peningkatan partisipasi politik rakyat. “Jika partisipasi politik rakyat naik maka semakin tinggi legitimasi pemilu. Maka DPT menjadi basis data yang penting untuk peningkatan partisipasi politik rakyat,” jelasnya.
Ketiga, DPT penting dikritik dan dibahas karena untuk peningkatan demokrasi electoral. “Karena proses kompetisi dalam Pemilu berbasis data DPT,” ujarnya.
Viva Yoga berpendapat kisruh DPT terjadi adalah karena karena mismanajemen sistem kependudukan. “Kalau kita sudah punya single identity number, sebagian besar persoalan DPT akan selesai. NIK ganda, NIK kosong, pemilih fiktif. Itu masalah DPT. Untuk mengakhiri kisruh DPT ini adalah dengan cara memperbaiki sistem kependudukan single identity number, yang lebih bagus," tegas politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Direktur Para Syndicate Ari Nurcahyo memberi dua solusi. Pertama, solusi taktis atau jangka pendek untuk mengantisipasi Pemilu 17April 2019. Solusi taktis ini adalah untuk menjamin warga negara bisa menggunakan hak pilihnya secara konstitusional. Mereka yang sudah masuk DPT, atau non-DPT, atau pemilik e-KTP bisa menggunakan hak pilihnya.
Kedua, solusi strategis. Ini menyangkut kebijakan politik jangka panjang. “Kita harus memutus aktor atau pemain dalam mata rantai data kependudukan. Negara atau pemerintah harus membuat single identity number kependudukan. "Proyek e-KTP adalah proyek gagal. Negara harus membuat program KTP yang single number," ujarnya. (har)