Atasi Persoalan Mafia Tanah, Pemerintah Didesak Bentuk Satgas Mafia Tanah

JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Ketua Umum Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GNPK), Adi Warman menanggapi persoalan mafia tanah yang terjadi di Indonesia terutama di Jakarta. Ia mengibaratkan kasus mafia tanah penyakit kronis dan sudah mewabah.

“Indikasinya karena dari dulu hingga saat ini persoalan pertanahan ini makin krodit, contoh yang mudah satu bidang tanah bisa 4 sampai 5 sertifikat,” ungkapnya. Pemerintah dalam hal ini Presiden harus turun tangan, sebab lambat laun persolan pertanahan di negeri kita ini sudah sangat krodit. Sebab kata pengacara senior itu kasus mafia tanah ini sering kali melibatkan pihak swasta, kalangan berduit dan oknum aparat Badan Pertanahan Nasional (BPN), aparatur pemerintah daerah mulai dari perangkat RT RW, Desa/Kelurahan sampai ke tingkat pusat.

Karena sudah seperti ini persoalannya saya ibaratkan penyakit sudah kronis dan sudah mewabah. Untuk membereskan permasalahan pertanahan ini, pemerintah harus bekerja ekstra dan membentuk badan khusus menyelidiki dan menyidik serta bisa menahan terkait kasus tanah. Badan tersebut setingkat Satuan Tugas (Satgas) Mafia Tanah.

Kenapa harus demikian? Langkah ekstra harus ditempuh mengingat banyak kasus kasus tanah selama ini baik perdata maupun pidana itu pasti melibatkan oknum di pemerintahan hingga swasta.

“Kami dari GNPK selama mangamati kasus kasus mafia tanah ini sudah sangat menggurita. Oleh karena itu harus diantisipasi, sebab kalau tidak tambah hari tambah banyak bentrokan fisik yang terjadi. Karena tidak sedikit warga atau yang punya lahan diserobot mafia tanah bentrok dengan para preman bayaran. Jadi kasus mafia tanah ini kalau tidak ditangani secara serius oleh pemerintah, maka masyarakat kecil yang banyak menjadi korban. Baik itu menjadi korban intimidasi oleh mafia tanah dengan menyuruh preman bayaran serta korban intimidasi oleh oknum aparat yang KKN dengan para mafia tanah,” tambahnya.

Jadi bentrok fisik di laapangan itu sering terjadi. Berdasarkan data yang GNPK miliki, putusan putusan pengadilan negeri yang memasuki masa eksekusi hampir semuanya diwarnai bentrokan antara kedua kubu. Dampaknya terhadap kasus mafia tanah ini adalah masyarakat kecil.
Sementara itu sidang kasus dugaan pemalsuan surat tanah seluas 1 hektar dan keterangan palsu pada akta autentik dengan terdakwa Muljono Tedjokusumo. Rabu (12/12) ditunda Pengadilan Negeri Jakarta Barat, lantaran saksi dari petugas Badan Pertahanan Nasional (BPN) Jakarta Barat tak hadir.

Jaksa Penuntut Umum Okta menerangkan, sidang pun ditunda pada (9/1/2019) nanti. Lantaran sidang agendakan saksi dari BPN tidak hadir dalam persidangan. “Hari ini saksi belum bisa hadir maka sidang dilanjutkan 9 Januari tahun depan,” ucap Okta.

Sebelumnya JPU menghadirkan tiga saksi dari Kelurahan Kedoya Selatan, Kec. Kebun Jeruk,Jakarta Barat.Ketiga saksi yakni, Mantan Lurah Kedoya Selatan, Jakbar, Nuraini Slyviana, Edi saat itu Kasie Prasarana dan Sarana dan Hafid saat itu Kasie Pemerintahan. Sidang tersebut Diketaui Majelis Hakim Steerly Marleine dan Hakim anggota M. Noor dan Achamd Fauzi.

Jaksa Penuntut Umum Okta menanyakan kepada saksi Edi dan Mantan Lurah Nuraini apakah pernah menerima uang hasil terima kasih yang berkaitan pengurusan tanah. “Pernah saya mendapatkan Rp 25 juta,” jawab Edi.

Sementara Nuraini, pun menjawab pertanyaan dari JPU menerima uang Rp 50 juta namun dikembalikan Rp 20 juta ke karyawannya. “Saya kembalikan kepada karyawannya. Sesudah proses. Satu tahun lah,” katanya.

Nuraini Silviana yang menjabat Lurah Kedoya Selatan periode 2012-2014. Tak hanya menerima uang, Nuraini juga mengaku pernah diundang ke kantor Muljono melalui sambungan telepon. Nuraini mengakui, undangan pertemuan itu dalam rangka membicarakan tiga surat permohonan yang diajukan Muljono.

Dalam kesaksiannya tiga saksi terdakwa menyuruh tiga orang yakni, Asmau Musna, Asni, dan Joko untuk mengurus mengajukan surat sertifikat tanah atas nama terdakwa. Terdapat tiga permohonan yang diajukan Muljono, yakni surat keterangan kehilangan Akta Jual Beli (AJB), surat riwayat tanah, dan surat keterangan penguasaan tanah. Ketiga permohonan itu atas tiga bidang tanah, yakni atas AJB nomor 1209 seluas 1.200 meter persegi, AJB nomor 1248 seluas 2.500 meter persegi dan AJB nomor 1242 seluas 3.020 meter persegi.

“Saya tidak pernah bertemu langsung dengan terdakwa untuk mengurus sertifikat. Karena yang mengurus tiga orang atas suruhan terdakwa,” ujar Edi kepada Hakim.

Sebelumnya pada Rabu (21/11) Amsir dan Ketua RW 05 Sumardi B Ramlan menjadi saksi persidangan. Dalam kesaksiannya di persidangan keduanya sempat plin plan dalam menjawab pertanyaan hakim.

Sementara itu Kuasa Hukum tiga korban Akhmad Aldrino Linkoln mengatakan kesaksian ketua RT dan RW dimuka persidangan dan dibawah sumpah bahwa benar telah terjadi pemalsuan tanda tangan. “Mereka oleh terdakwa sebagai dasar proses terbitnya sejumlah sertifikat tanah,” tuturnya.

Sebelumnya Rabu (14/11) kemarin enam saksi dihadiri di persidangan yakni Akhmad Aldrino Linkoln, Muhadi dan Masduki, Suni Ibrahim, Abdurahmman, dan Usman. Dalam kesaksiannya Muhadi selaku ahli waris Ahmad Mimbora dan Salabihin Utong.

Ia menceritakan terjadinya pelaporan lantaran ketiga Korban melaporkan terdakwa pada tahun 2016 ketika tanah di kawasan Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat, milik Mahidi Salimin, Ahmad Mimbora dan Salabihin Utong dipasang plang tanah tersebut milik nama Muljono Tedjokusumo dan bersertifikat dan lahan tersebut dijaga oleh sekelompok orang.
Para saksi tidak pernah melakukan jual beli sama sekali terhadap terdakwa.

Sebelumnya mantan Petinggi Golf di salah satu Jakarta didakwa melanggar Pasal 263 ayat (1) jo Pasal 264 Ayat (2) dan jo Pasal 266 Ayat (2) KUHP oleh JPU Okta.
Seperti diketahui tertuang Laporan Polisi nomor LP 261/III/2016/Bareskrim Tgl 14 Maret 2016 dan LP 918/IX/2016/Bareskrim tanggal 7 September 2016. Muljono dilaporkan oleh H. Muhadih, Abdurahman, dan ahli waris Baneng. Menurut Pengacara korban Akhmad Aldrino Linkoln, mantan bos golf salah satu Jakarta menyandang status tersangka kasus dugaan tindak pidana pemalsuan surat dan menempatkan keterangan palsu pada akta autentik tanah seluas sekira 1 hektar di kawasan Kebon Jeruk, Jakbar, sebagaimana dimaksud dalam pasal 263 dan 266 KUHP. (grd)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button