
JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Sekjen DPP Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan partainya terus membaca peluang dan mengitip perkembangan cawapres untuk dipasangkan pada dua arus kuat bakal capres yaitu Joko Widodo atau Prabowo Subianto. Di luar dua koalisi kuat tersebut, Demokrat juga terus mematangkan kemungkinan membentuk poros ketiga.
“Perkembangan itu kini makin cair, karena salah satu capres yang didukung koalisi parpol belum deklarasi. Kalau sudah ada yang deklarasi, kaolisi itu akan makin konkrit,” tegas Hinca Panjaitan dalam diskusi dielaketika demokrasi bertajuk ‘Menakar Cawapres 2019, Parpol Koalisi Pecah Kongsi atau Tetap Solid?’ di Gedung DPR, Jakarta, Kamis (12/7).
Hinca mengatakan partainya terbiasa melakukan keputusan di saat-saat terakhir pendaftaran calon yang ditetapkan KPU ditutup 10 Agustus 2018. Pihaknya punya pengalaman pada pilkada DKI Jakarta, ketika penetapan pasangan cagub-cawagub AHY – Selvie diputuskan 23 September 2017. Padahal, pada Jumat pukul 00.00 Wib itu sudah penutupan. Ia yakin semua partai juga melakukan hal sama. “Jadi, saat ini saling intip,” ujarnya.
Yang pasti menurut Hinca, Demokrat akan berupaya menghindari apabila bakal capres Jokowi menjadi calon tunggal. Partainya, sudah mewanti-wanti jangan sampai Jokowi melawan kotak kosong. Sebab, kotak kosong bisa menjadi ancaman demokrasi.
“Kasus pilkada kota Makassar harus menjadi pelajaran, sungguh mencederai demokrasi kalau terbukti kotak kosong yang menang,” imbuh anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat ini.
Senada, Anggota DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Nizar Zahro mengatakan pihaknya juga berupaya mendorong Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo untuk mendapat dukungan kuat dari partai politik lain. Saat ini, Gerindra menklaim sudah mendapat dukungan dari PKS dan PAN.
“Kita memberi kebebasan kepada masing-masing kepada ketua umum partai politik, baik Bapak Zulhasan (Ketum PAN), Ketua Umum PKS, Ketua Umum Demokrat atau juga ketua umum parpol lain hingga tanggal 10 Agustus terakhir pendaftaran nanti untuk bisa berkoalisi,” katanya.
Nizar memastikan Gerindra dan PKS serta PAN sebagai partai koalisi pendukungnya tidak akan Pilpres seperti kasus pilkada dalam Pilwakot Makssar yaitu kotak kosong mengalahkan calon tunggal tunggal.
“Sungguh naif sekali di republik dengan jumlah penduduk 260 juta, bilamana presidennya calon tunggal. Dan tidak etis apabila manusia dilawan dengan kotak kosong. Kita memberikan perlawanan kepada incumbent sekaligus antisesa dari calon incumbent,” ujarnya.
Di tempat sama, Wakil Sekjen DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Yandri Susanto memastikan partainya cenderung berlabuih kepada koalisi partai pendukung Prabowo Subianto. “Karena kami melihat dari Pak Jokowi sudah cukup partainya, perahunya sudah cukup, bahkan istilah saya sudah sangat sesak, partai-partai besar dan dari jumlah kursi yang disyaratkan UU mencapai 20% itu sudah lebih dari cukup,” katanya.
Untuk itu, parytainya berkhitmad agar bangsa ini tidak gagap ketika harus menghadapi kenyataan menghadapi calon tunggal. “Republik yang rakyatnya luar biasa banyaknya ini, tidak boleh gagap ketika proses demokrasinya harus menghadapi calon tunggal. Artinya, PAN berupaya menghindari agar tidak ada calon tunggal,” tegasnya.
Oleh karena itu PAN berusaha menghadirkan calon alternatif di luar Capres Jokowi. “Bukan berarti hubungan kami dengan Bapak Jokowi tidak baik. Tetapi kami kita ingin menghadirkan di tengah masyarakat supaya diluar bapak Jokowi juga ada pilihan yang lain,” sebut Yandri. (har)