JAKARTA (Bisnis Jakarta) – Teknologi digital dan Internet berhasil menciptakan perubahan karena tidak hanya dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga dalam dunia bisnis. Sektor hotel dan pariwisata tak terkecuali, harus bisa merangkul teknologi yang kini menjadi keharusan dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari para konsumen. Demikian dikatakan Ketua Umum PHRI Hariyadi Sukamdani terkait rencana penyelenggaraan The Hotel Week Indonesia di Jakarta, Senin (13/11).
Acara digelar CNG Media & Events, perusahaan yang bergerak dibidang pameran dan konferensi berbasis business-to-business (B2B). Acara ini didukung oleh dua asosiasi besar yakni Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) dan Asosiasi Penyelenggara J asa Internet Indonesia (APJII) berlangsung di Jakarta Convention Center Jakarta, 23-25 November 2017.
Meskipun okupansi hotel seluruh Indonesia sepanjang 2016 masih lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya, Hariyadi mengatakan, sektor hotel dan pariwisata sebenarnya tengah menghadapi tantangan yang cukup berat tahun ini dikarenakan oleh kondisi kelebihan pasokan kamar (oversupply) yang terjadi di kota-kota besar, kekurangan tenaga kerja terlatih (brain drain), dan makin tergerusnya keuntungan dari pemilik/operator hotel karena online travel agency meminta komisi yang 1ebih tinggi dari travel agency konvensional.
Ia mengatakan disrupsi digital (digital disruption) juga mempengaruhi industri perhotelan dan dampaknya bisa positif dan negatif. Menurutnya, industri perhotelan tidak bisa memungkiri kalau okupansi hotel sangat terbantu oleh jasa yang disediakan dari online travel agency.
Akan tetapi, para operator dan pemilik hotel kini harus menghadapi tantangan baru, yakni tergerusnya keuntungan karena para pemain OTA, yang kini menguasai permintaan kamar hotel melalui aplikasi dan web portalnya, meminta komisi yang cukup tinggi. “(Komisi) OTA ini besar juga lho. Rangenya bisa antara 20-30 persen,” ujar Hariyadi.
Moratorium Izin
Selain tantangan tersebut, industri perhotelan kini tengah menghadapi kelebihan pasokan kamar dan hal ini menyebabkan para pemain meminta pemerintah seternpat untuk menerapkan moratorium pemberian izin hotel baru, terutama di kota-kota besar di Indonesia, yang sudah sangat banyak jumlah hotelnya. “Menurut saya sih (moratorium) karena contohnya untuk daerah seperti Bali, Yogjakarta, Bandung, itu sudah sangat padat. Saya belum paham kenapa investornya masih tertarik membangun hotel (disitu) kalau nantinya tidak untung. Kan kita bisnis maunya untung. Ngapain kalo tidak untung. Karena pada akhimya mereka akan kesulitan juga,” ungkap Hariyadi.
Sementara itu, Ketua umum dari Jakarta Hotel Association yang menaungi lebih dari 43 hotel bintang lima dan empat di Jakarta Alexander Nayoan mengungkapkan, industri perhotelan mengalami kekurangan tenaga ahli dibidangnya dan sertifikasi profesi yang belum memadai untuk posisi top management di industri ini. “Buat sertifikasi General Manager misalnya itu apa aja yg dibutuhkan ?. Idealnya seorang GM harus memiliki sertifikasi dari semua posisi yang ada di bawahnya,” ujar Alex.
Ia mencontohkan, untuk posisi GM dibutuhkan sekitar 54 sertitikasi profesi. Sayangnya tidak semuanya bisa didapatkan. Yang tersedia mungkin sekitar 15 sertiflkasi. Inipun mengambil dari banyak tempat. Dia mengatakan Lembaga Sertifikasi Profesi Pariwisata belum bisa menyediakan standarisasi profesi yang j elas untuk pekerja di sektor hospitaliti.
Alex mengatakan, industri perhotelan sangat membutuhkan uluran tangan pemerintah untuk serius membenahi masalah sertifikasi, karena masa depan dari industri ini sangat tergantung dari sumber daya manusianya. Menurutnya, pelaku industri perhotelan telah mengeluhkan hal ini dari sekitar 6-7 tahun yang lalu, akan tetapi hingga saat ini belum ada solusi yang kongkrit dari regulator. (son)