MKK Diterapkan di Tiga Kota Ini

JAKARTA (Bisnisjakarta)-
Kemenpar menetapkan tiga daerah sebagai proyek percontohan pilot project dalam menerapkan Manajemen Krisis Kepariwisataan (MKK). MKK yang dikuatkan dengan payung hukum Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 10 Tahun 2019 tentang Manajemen Krisis Kepariwisataan, menjadi pedoman mitigasi dan penanganan bencana krisis kepariwisataan yang bersumber dari faktor alam dan non-alam (krisis sosial).

Ketiga daerah tersebut, yakni; kepulauan Riau mewakili regional barat, Jawa Barat mewakili regional tengah, dan Nusa Tenggara Barat (NTB) mewakili regional timur

Menpar Arief Yahya menyatakan, penerapan MKK ini sebagai upaya untuk mencegah dan menanggulangi krisis kepariwisataan yang menyebabkan turunnya citra kepariwisataan Indonesia maupun jumlah wisatawan di daerah tujuan pariwisata, kawasan strategis pariwisata, dan daerah wisata lainnya.

Sampai saat ini krisis pariwisata berupa bencana alam yang terjadi di Bali, Lombok, Selat Sunda, Palu dan daerah lain di Tanah Air berdampak pada pencapaian target kunjungan wisman yang tahun ini targetnya sebesar 18 juta wisman, diprediksi hanya tercapai 16 juta atau mengalami potential loss 2 juta wisman.
 
Menpar didampingi Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo dan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, pengalaman selama ini dalam menangani bencana alam di destinasi pariwisata memerlukan kehati-hatian, khususnya ketika menetapkan status bencana dan daerah terdampak, karena hal itu berdampak pada pemberlakuan travel warning bagi para wisman.

Menpar mencontohkan ketika terjadi erupsi Gunung Agung di Bali pada 27 November 2017 lalu. Penetapan status  ‘Awas’ (level IV) membawa dampak sejumlah negara sumber wisman termasuk Tiongkok mengeluarkan travel warning.

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyatakan, untuk meminimalisir dampak dari peristiwa bencana alam, pemerintah tengah mempersiapkan peraturan yang mewajibkan daerah untuk membuat rencana kontijensi (contingency  plan) bencana. Pada dasarnya terjadinya bencana; antara lain; erupsi, tsunami, gempa bumi, likuifaksi, banjir, tanah longsor, maupun angin puting beliung, menurutnya, merupakan peristiwa yang terjadi secara berulang-ulang sehingga mitigasi dan kewaspadaan sangat diperlukan dalam upaya mengurangi risiko korban jiwa dan kerugian harta benda.

Wakil Direktur Pusat Studi Otonomi Daerah, IPDN, Kemendagri Khalilul Khairi menyatakan, di era otonomi daerah peran Pemerintah Daerah (Pemprov/Pemkot/Pemkab) sangat besar atau otonom. Dalam penanggulangan bencana alam maupun bencana non-alam (krisis sosial) yang berdampak pada pariwisata, menurutnya, ada dua hal yang perlu dilakukan daerah. Yakni dengan membuat norma standar prosedur serta peningkatan keterampilan atau keahlihan masyarakat dalam menanggulangi bencana sebagai krisis kepariwisataan.

Sementara itu Kepala Biro Komunikasi Publik (Komblik) Kemenpar Guntur Sakti yang juga Ketua Tim Tourism Crisis Center (TCC) dalam pemaparannya menyatakan, MKK memiliki empat fase kerja yakni; Fase Kesiapsiagaan dan Mitigasi, Fase Tanggap Darurat, Fase Pemulihan, dan Fase Normalisasi. "Pada fase kesiapsiagaan dan mitigasi ini peran pemerintah daerah (Pemprov/Pemkot/Pemkab) sangat besar. Fase ini juga melibatkan seluruh stakeholder pariwisata,” kata Guntur.

Dengan ditetapkannya tiga destinasi pariwisata (Kepulauan Riau, Jawa Barat, dan NTB) sebagai proyek percontohan MKK, berbagai program di antaranya kegiatan Focus Group Discussion (FGD) akan dilaksanakan di sana. (son)

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button