Pendapatan di sektor pelayaran penumpang atau roro akibat adanya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang berarti penutupan aktivitas terminal pelabuhan selama pandemi COVID-19 anjlok 75 hingga 100 persen. “Penurunan pelayaran penumpang berkisar 75-100 persen karena adanya penutupan pelabuhan dari bupati atau gubernur, tidak memperbolehkan ada yang datang dan mudik. Selain itu, mereka diharapkan untuk mengangkut barang, penumpang cuma 50 persen,” kata Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pelayaran Niaga Nasional (Insa) Carmelita Hartoto saat diskusi virtual di Jakarta, Kamis (25/6)
Saat peraturan dilonggarkan, menurut Carmelita, calon penumpang juga merasa kesulitan dengan adanya syarat harus mengikuti tes cepat (rapid test) COVID-19 yang biayanya lebih mahal dari tarif naik kapal itu sendiri. “Rapid test juga cukup mahal, daerah-daerah tertentu ada yang harus rapid test, tapi ada juga memperbolehkan surat keterangan sehat dari klinik. Kami menyampaikan ke Kementerian Perhubungan, ini tergantung dari Gugus Tugas, sehingga minta bagaimana caranya mekanismenya. Pakai ‘rapid test’ lebih mahal dari harga tiket itu sendiri,” ujarnya.
Di samping itu, Ia menyebutkan, untuk sektor barang kontainer, curah kering, tanker, “tug and barge”, “off shore” dan kapal khusus mengalami penurunan pendapatan sekitar 25-50 persen. “Demand (permintaanya) turun. Tanker minyak kalau mengikuti petanya secara internasional itu kapal-kapal minyak banyak yang berhenti. Teman-teman di ‘off shore’ sudah negosiasi, tapi intinya kita bicara ke semua ‘stakeholder’ (pemangku kepentingan) sebisanya jangan ada pengurangan kapal, tetap berjalan kalaupun negosiasi jangan banyak-banyak,” katanya.
Akibatnya para pemilik barang (shipper) mengalami kesulitan keuangan. Hal tersebut menyebabkan penaikan piutang yang membuat arus kas perusahaan terganggu, khususnya pada barang kontainer, curah kering dan “tug and barge”.
Untuk bisa bertahan di situasi sulit, Carmelita mengatakan para perusahaan pelayaran mau tidak mau harus melakukan efisiensi, di antaranya menghemat pos-pos biaya perusahaan, misalnya dengan mengurangi biaya dinas luar kota yang dinilai tidak terlalu penting, digitalisasi atau kerja dari rumah (work from home) dan outsorching pekerjaan. Kemudian, lanjut dia, mengandangkan kapal lantaran kekurangan sewa (charter) atau kargo angkutan.
Selanjutnya, yakni negosiasi kontrak, terutama untuk sektor pelayaran curah, “off shore” atau kapal khusus dengan pemberi kerja agat tidak memutus kontrak kerja. “Kita juga minta restrukturisasi untuk ‘rescheduling’ pinjaman untuk mengatasi kita punya ‘cash flow’, terutama ke bank-bank swasta. Selain itu kita ajukan perpanjangan sertifikat ‘docking’ selama tidak membahayakan keselamatan. Dari Pelindo kita juga dapat stimulus penundaan pembayaran untuk 14 hari di pelabuhan,” ujar Carmelita. (son)