
Menurut Hanifah, negara harus hadir untuk melindungi kaum perempuan dan anak, juga memastikan mendapatkan perlindungan dari berbagai bentuk tindak kekerasan baik dalam bentuk ucapan maupun aksi kekerasan fisik. "Termasuk pelecahan seksual dari siapapun juga, baik di wilayah domestik (keluarga) ataupun masyarakat," tegasnya.
Oleh karena itu, penerapan undang-undang No. 35 Tahun 2014, perubahan atas Undang- Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi sesuatu yang harus diutamakan.
Disisi lain, Forhati juga mendorong perubahan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang lebih melindungi kaum perempuan dan anak-anak dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). "Forhati memberikan perhatian khusus tentang penegakan hukum terkait KDRT, tidak hanya karena KDRT telah menjadi isu global dan telah menjadi perhatian publik semata, melainkan karena KDRT adalah tindakan yang bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab," jelasnya.
Pihaknya akan terus menyumbangkan pemikirannya yang langsung disampaikan kepada wakil rakyat di DPR untuk penyempurnaan pasal-pasal yang berkaitan dengan perlakuan demoralisasi termasuk perilaku seks menyimpang. Termasuk dalam RUU Penghapusan Kekerasan.
Penguatan akses kaum perempuan terhadap modal usaha juga terus didorong agar otoritas jasa keuangan dan Bank Indonesia bisa memperluas jangkauan distribusi inklusi keuangan yang secara langsung berdampak pada kesejahteraan keluarga. "Hak kaum perempuan memperoleh perlakuan yang adil dalam mendapat kesempatan kerja, mengembangkan karir, sesuai dengan standar kompetensi dan profesionalisme," tandasnya.(har)